Minggu, 27 Desember 2009

Metode Ijtihad Qardhawi ( Bagian 2 )

Mengenai peluang ulama untuk berijtihad saat ini menurut Qardhawi adalah suatu keharusan dan hukumnya fardu kifayah. Ada tiga macam ijtihad yang dikemukakan oleh Qardhawi, yaitu ijtihad intiqa’i, ijtihad insya’i, dan ijtihad integrasi antara ijtihad intiqa’i dan insya’i.


PERTAMA : Ijtihad Intiqa’i/Tarjih

Yang dimaksud dengan ijtihad intiqa’i adalah memilih suatu pendapat dari beberapa pendapat terkuat yang terdapat pada warisan fikih Islam yang penuh dengan fatwa dan putusan
hukum. Qardhawi tidak sependapat dengan orang-orang yang mengatakan bahwa kita boleh berpegang pada pendapat dalam bidang fikih (pemahaman) karena sikap itu merupakan taqlid
tanpa dibarengi argumentasi. Seharusnya diadakan studi komparatif terhadap pendapat-pendapat itu dan meneliti kembali dalil-dalil nash atau dalil-dalil ijtihad yang dijadikan dasar
pendapat tersebut, sehingga pada akhirnya dapat diketahui dan dipilih pendapat yang terkuat dalilnya dan alasannya pun sesuai dengan kaidah tarjih, seperti mempunyai relevansi dengan
kehidupan pada zaman sekarang, pendapat itu mencerminkan kelemahlembutan dan kasih sayang kepada manusia, pendapat itu mendekati kemudahan yang ditetapkan oleh hukum Islam, pendapat itu lebih memprioritaskan realisasi maksud-maksud syara, kemaslahatan manusia, dan menolak marabahaya. Kegiatan tarjih yang dilakukan oleh ahli tarjih pada masa
kebangkitan kembali hukum Islam berbeda dengan kegiatan tarjih pada masa kemunduran hukum Islam. Pada masa yang disebutkan terakhir ini, tarjih diartikan sebagai kegiatan yang
tugas pokoknya adalah menye leksi pendapat para ahli fikih di lingkungan intern madzhab tertentu, seperti syafi’iyah, malikiyah, dll. Sedangkan pada periode kebangkitan Islam, tarjih
berarti menyeleksi berbagai pendapat dari bermacam madzhab, baik beraliran sunni atau tidak. Jadi, sifatnya lintas madzhab

Ada beberapa faktor yang dapat mempengaruhi hasil dari ijtihad tarjih ini. Sedikitnya menurut Qardhawi ada tiga hal, yakni perubahan sosial politik, kemajuan ilmu pengetahuan dan
teknologi modern, dan adanya desakan dari perkembangan zaman.

Contoh ijtihad tarjih adalah tentang harusnya meminta izin untuk menikahkan anak gadis. Golongan Syafi’i, Maliki, dan mayoritas golongan Hanbali berpendapat sehungguhnya orang
tua berhak memaksakan anak gadisnya yang sudah akil balig untuk menikah dengan calon suami yang dipilih oleh orang tua walaupun tanpa persetujuan gadis tersebut. Alasan yang
digunakan adalah orang tua lebih tahu tentang kemaslahatan anak gadisnya.
Cara yang demikian itu mungkin masih dapat diterapkan pada seorang gadis yang belum mengenal sedikitpun tentang kondisi dan latar belakang suaminya, sedangkan di zaman
modern sekarang para gadis mempunyai kesempatan luas untuk belajar, bekerja dan berinteraksi dengan lawan jenis dalam kehidupan ini. Akhirnya, hasil dari ijtihad tarjih ini adalah
mengambil pendapat Abu Hanifah yakni melibatkan urusan pernikahan kepada calon mempelai wanita untuk mendapatkan persetujuan dan izinnya.

Contoh lain dari ijtihad intiqa’i adalah tentang kekayaan yang dalam bahasa al-Qur’an disebut dengan al-amwal, yakni segala sesuatu yang sangat diinginkan oleh manusia untuk melikinya.

Menurut Ibnu Asyir, kekayaan pada mulanya adalah emas dan perak tetapi kemudian berubah pengertiannya menjadi sesuatu yang disimpan dan dimiliki. Menurut madzhab Hanafi, kekayaan adalah segala yang dapat dimiliki dan digunakan menurut kebiasan. Kekayaan dapat
disebut kekayaan apabila memenuhi dua syarat tersebut, seperti tanah, binatang, barang-barang, perlengkapan dan uang. Sesuatu yang tidak dapat dimanfaatkan tetapi mungkin dimiliki
seperti ikan di laut, binatang di hutan dan burung di udara adalah termasuk kekayaan. Sebaliknya sesuatu yang dapat dimanfaatkan tetapi tidak mungkin dimiliki seperti cahaya dan
panas matahari, tidak termasuk kekayaan., begitu juga sesuatu yang secara nyata dapat dimiliki tetapi tidak dapat dimanfaatkan seperti sebutir beras, segenggam tanah, setetes air dan
sebagainya.

Menurut madzhab Maliki, Syafii dan Hanbali, yang dimaksud dengan kekayaan adalah termasuk segala manfaat yang dapat dikuasai dengan cara menguasai tempat dan sumbernya.
Ibnu Najim berpendapat bahwa kekayaan, sesuai dengan yang ditegaskan oleh ulama-ulama ushul fikih adalah sesuatu yang dapat dimiliki dan disimpan untuk keperluan, Setelah memperhatikan dan mempelajari berbagai pendapat tadi, maka Qardhawi menyimpulkan bahwa yang paling tepat adalah pendapat madzhab Hanafi. Alasannya adalah pengertian tersebut lebih dekat pengertiannya dalam kamus kamus Arab dan dapat diterapkan pengertiannya melalui nash nash tentang zakat. Dengan demikian maka yang dimaksud
dengan kekayaan adalah sesuatu yang berwujud dan dapat dimiliki, itulah yang dapat dibebani kewajiban untuk mengeluarkan zakat.

KEDUA : Ijtihad Insya’i

Yang dimaksud dengan ijtihad insya’i adalah pengambilan konkluse hukum dari suatu persoalan yang belum pernah dikemukakan oleh ulama terdahulu. Atau cara seseorang mujtahid kontemporer untuk memilih pendapat baru dalam masalah itu, yang belum ditemukan didalam pendapat ulama salaf. Boleh juga ketika para pakar fikih terdahulu berselisih pendapat sehingga terkatub pada dua pendapat, maka mujtahid masa kini memunculkan pendapat ketiga.
Sebagian besar ijtihad insya’i ini terjadi pada masalah masalah baru yang belum dikenal dan diketahui oleh ulama terdahulu serta belum pernah terjadi pada masa mereka. Kalaupun mengenalnya, tentu masih dalam skala kecil yang belum mendorong mereka untuk mengadakan penelitian demi mencari penyelesaiannya. Mengenai ijtihad insya’i ini, Qardhawi berpendapat bahwa setelah mengutip berbagai pendapat para ulama, maka langkah selanjutnya adalah mengkaji kembali berbagai pendapat tersebut, kemudian menarik simpulan yang sesuai dengan nash al-Quran dan Hadits, kaidah-kaidah dan maqashid al-syar’iyah sambil berdoa semoga Allah mengilhamkan kebenaran, tidak menghalangi tabir pahala,dan menjaga dari belenggu fanatisme
dan taqlid serta hawa nafsu dan prasangka buruk terhadap orang lain.

Sebagai contoh ijtihad insya’i adalah para pakar fikih pada zaman moderen ini berpendapat bahwa rumah, pabrik, tanah, dan sebagainya yang disewakan wajib dikeluarkan zakatnya. Pendapat ini dikemukakan oleh Muhammad Abu Zahrah, Abdul Wahhab Khalaf dan Abdurrahman Hasan, Qardhawi sangat mendukung pendapat tersebut dengan pembahasan yang lengkap dengan dalil-dalil yang dipegangi.

Apabila pemilik tanah menyewakan tanahnya dengan sewa berupa uang atau lain-lain yang menurut jumhur hukumnya boleh, maka siapakah yang berkewajiban membayar zakatnya, apakah pemilik tanah atau penyewa tanah? Menurut Abu Hanifah, zakat wajib atas pemilik tanah. Berdasarkan ketentuan bahwa zakat adalah kewajiban tanah yang memproduksi, bukan kewajiban tanaman. Dan bahwa zakat adalah beban tanah yang sama kedudukannya dengan kharaj. Maka dalam hal sewa, tanah yang seharusnya diinvestasi dalam bentuk pertanian lalu diinvestasi dalam bentuk sewa, berarti sewa tersebut sama kedudukannya dengan hasil tanaman.
Demikian juga pendapat Ibrahim al-Nakha’I , Malik, Syafii, al –Tsauri, Ibn al-Mubarak dan Jumhur
ulama Fikih berpendapat bahwa zakat wajib atas orang yang menyewa, karena zakat adalah beban tanaman bukan beban tanah. Pemilik tanah bukanlah penghasil biji-bijian dan buah-buahan yang karenanya tidak mungkin mengeluarkan zakat hasil tanaman yang bukan miliknya. Menurut Ibnu Rusyd perbedaan pendapat disebabkan tidak ada kepastian apakah zakat tersebut
merupakan beban tanah, beban tanaman atau beban keduanya.

Al-Mughni menilai bahwa pendapat Jumhur lebih kuat, zakat diwajibkan atas hasil tanaman. Sedangkan Al-Rafii berpendapat bahwa penyewa tanah mempunyai dua kewajiban yakni membayar sewa dan membayar zakat. Setelah mempelajari pendapat para ulama tersebut maka Qardhawi mengemukakan pendapat bahwa yang adil adalah baik penyewa maupun pemilik harus secara bersama-sama menanggung zakat itu masing-masing sesuai dengan
perolehannya
Jadi pemilik tanah juga diwajibkan mengeluarkan zakat dari hasil sewa, sedangkan pendapat tersebut belum pernah dikemukakan oleh ulama-ulama terdahulu. Ijtihad yang demikian
disebut ijtihan insya’i. Pendapat tersebut sangat adil dan sangat realistis diterapkan dizaman sekarang.

Ketiga : Integrasi antara Ijtihad Intiqa’i dan Insya’i

Di antara bentuk ijtihad kontemporer adalah ijtihad perpaduan antara intiqa’i dan insya’i, yaitu memilih pendapat para ulama terdahulu yang dipandang lebih relevan dan kuat kemudian dalam pendapat tersebut ditambah unsur-unsur ijtihad baru.

Sebagai contoh ijtihad jenis ini adalah masalah aborsi. Lajnah Fatawa di Kuwait mengeluarkan pendapat tentang aborsi yang dibolehkan dan yang diharamkan. Lajnah Fatawa telah menyeleksi pendapat-pendapat para pakar fikih Islam sekaligus menambahkan unsur-unsur kreasi baru yang dituntut oleh kemajuan ilmu pengetahuan dan ilmu kedokteran. Yang ditunjang dengan segala peralatan teknologi canggih dan kemampuan untuk mendeteksi apa yang menimpa pada janin dalam bulan-bulan pertama, berupa cacat yang mempunyai pengaruh fisik/biologis dan psikis pada kehidupan si janin dikemudian hari menurut sunnatullah yang berlaku di alam ini.

Isi Fatwa yang dikeluarkan tanggal 29 September 1984 itu adalah seorang dokter dilarang menggugurkan kandungan seorang wanita yang telah genap 120 hari, kecuali untuk
menyelematkan wanita/ibu itu dari marabahaya yang ditimbulkan oleh kandungannya. Dan seorang dokter boleh menggugurkan kandungan wanita dengan persetujuan kedua belah pihak yaitu suami istri, sebelum kandungan itu genap berusia 40 hari, yakni saat masih berbentuk segumpal darah. Apabila kandungan itu sudah lebih dari 40 hari dan belum sampai 120 hari maka dalam keadaan seperti ini tidak boleh dilakukan abortos kecuali dalam dua kondisi berikut ini:
a. Apabila kandungan itu tetap dipertahankan, akan menimbulkan bahaya bagi sang ibu dan bahaya itu akan berlangsung terus menerus sampai sehabis melahirkan.
b. Apabila sudah dapat dipastikan bahwa janin yang lahir akan menderita cacat baik fisik atau akalnya, yang kedua hal itu tidak mungkin dapat disembuhkan.

(bersambung)
sumber :
Suhartono, S.Ag.,SH.,MH.(Hakim PA Martapura)

1 komentar:

  1. wah ada juga ya blog yg didedikasikan untuk Qardawi hehe... sangat berguna pak, makasih....


    --silakan berkunjung ke blog kami--:)

    BalasHapus

Resensi Buku Fiqh Negara Dr. Yusuf Qardhawi

Judul Asli:  Min Fiqh ad-Daulah fil Islam Terjemahan: Fiqih Negara Penulis : Dr. Yusuf Qardhawy Penerjemah: Syafril Halim Penerbit...