Selasa, 29 Desember 2009

Qardhawi : Saya tidak mengingkari umat Nashroni merayakan hari Raya mereka

Dr  Yusuf Al-Qaradhawi – Ketua Persatuan Ulama Muslimin Internasional – mengatakan bahwasanya ia tidak mengingkari umat nashori dalam merayakan hari  Natal maupun perayaan-perayaan agama mereka yang lainnya. Namun sesungguhnya yang ia sayangkan dan ingkari adalah ; sikap berlebihan yang muncul dari sebagian kaum muslimin dalam perayaan hari Natal ini. Qardhawi melandaskan sikapnya tersebut atas dasar “ penjagaan identitas keislaman’, khususnya di negara-negara islam yang didalamnya tidak terdapat minoritas nashrani. 
Qardhawi mengingatkan bahwa dia mengeluarkan fatwa yang membolehkan ucapan selamat kepada non-muslim dalam hari raya mereka, dimana hal itu bertentangan dengan fatwa syaikhul Islam Ibnu Taimiyah yang mengharamkan hal tersebut, yang kemudian juga menjadi  rujukan ulama negara-negara islam.

Qardhawi menyatakan hal di atas sebagai bentuk tanggapan atas beberapa media massa –khususnya majalah jerman DER SPIEGEL- yang menuduhnya melakukan “ Provokasi anti Kristen” sebagaimana mereka mengistilahkannya. 

Dalam program diskusi “ Syariah wal Hayah” yang disiarkan Stasiun TV Al-Jazeera hari Ahad, 28 Desember 2009 yang lalu, Qardhawi mengomentari tuduhan-tuduhan yang ditujukan pada dirinya dengan mengatakan : “ Amat disayangkan, ini dijadikan amunisi bagi sebagian kaum barat untuk menyerang Islam dan aktifis-aktifisnya. Mereka tidak pernah melewatkan satu peluangpun kecuali meletakkan racun mereka sebagaimana dalam permasalahan ini “
Qardhawi menambahkan : “ Sudah sama-sama diketahui, bahwa saya dikenal sebagai da’I yang toleran terhadap seluruh agama, dan kitab-kitab yang saya tulis menunjukkan itu semua. Bahkan dalam kitab yang terakhir saya terbitkan dalam masalah ini -yaitu Fiqhul Jihad -, saya tetap menekankan kebolehan mengucapkan selamat kepada umat nashrani dalam hari raya mereka”

Ucapan selamat pada umat Nashrani

Qardhawi menjelaskan : “ saya tidak mengingkari umat nashrani di negeri mereka merayakan hari raya mereka, bahkan saya mempunyai fatwa yeng membolehkan ucapan selamat kepada umat nashrani dalam hari raya Natal, dimana ini bertentangan dengan apa yang difatwakan oleh Ibnu Taimiyah yang mengatakan ketidak bolehan hal tersebut, dan banyak ulama di Saudi dan negara-negara teluk yang merujuk pada fatwa (haram) tersebut”

Qardhawi merincikan bahwa kebolehan ucapan selamat dalam fatwanya itu berlaku pada tetangga atau sahabat non muslim, karena hal tersebut termasuk dalam pintu kebajikan yang tidak dilarang oleh Allah SWT dalam ayat Mumtahanah 8 : Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu Karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil.

Meskipun demikian, beliau tetap mengingkari sikap berlebihan sebagian kaum muslimin dalam perayaan hari raya non muslim. Qardhawi menyatakan : “ akan tetapi saya telah memperingatkan dalam salah satu khutbah jumat saya sekitar dua pekan sebelumnya, bahwasanya sebagain kaum muslimin bersikap berlebihan dalam perayaan Natal, padahal mereka bukanlah umat kristen, dan masyarakat kita bukanlah masyarakat kristen, dan (anehnya) mereka tidak melakukan hal yang sama saat Iedul Fithri dan Iedul Adha .. “

Qardhawi melanjutkan : “karena itulah saya mengingkari hal tersebut, khususnya setelah Swiss melarang adzan yang tidak mengganggu seorangpun, begitu pula Perancis yang melakukan survei yang memunculkan angka 40% dari orang perancis mengatakan : seharusnya yang dilarang adalah masjid bukan adzan saja !! . Inilah yang mereka lakukan , sementara kita di negeri kita ikut merayakan hari Natal dengan batas-batas tertentu ..

Identitas dan Tampilan Islami

Karena berbagai hal itulah, Dr Qardhawi memandang perlunya penjagaan atas identitas keislaman, karena sikap berlebihan akan merusak segala sesuatunya. Begitu pula sikap berlebihan dalam perayaan Natal, merusak tampilan dan identitas keislaman negara muslim”
Qardhawi menekankan dengan keras bahwa meluasnya  keikutsertaan kaum muslimin dalam perayaan tersebut dan sikap yang berlebihan di dalamnya, akan mengancam identitas keislaman dan menunjukkan sikap menggampangkan. Dan permasalahan yang muncul dalam tindakan semacam itu adalah menjauhkan dari manhaj wasathiyah (moderat) dalam Islam, yaitu : engkau menjaga identitas Anda sebagai muslim, dan berinteraksi pada yang lain dengan toleran dan memberikan hak-haknya, serta berpartisipasi dalam hal-hal maslahat umum. Inilah ajakan kami selama ini.

Qardhawi mengkhususkan hal tersebut di wilayah negara-negara muslim, terlebih pada negara yang tidak terdapat di dalamnya minoritas non muslim. Beliau melandaskan bahwa status asal dari makhluk  adalah beragam, dengan keragaman ini ternyata ada kekhususan-kekhususan yang harus kita jaga secara identitasnya. Dan Al-Quran juga telah menekankan hal tersebut dan surat Al-Kafirun dan Al-Fatihah.  “ Bagimu agamamu dan bagiku agamaku”.  Tetapi masalahnya justru ada pada sebagian besar orang Barat yang bertindak atas dasar “ bagi kami agama kami, dan tidak ada bagimu agama apapun “

Qardhawi mencontohkan pada kasus Al-Jazair, bahwasanya penjajahan berusaha untuk menguliti masyarakat di sana dari unsur kearaban dan bahasanya, juga menekan keislamannya. Akan tetapi ulama Islam cukup cerdas dalam menyikapinya, mereka mendirikan organisasi ulama Al-Jazair, lalu menghidupkan identitas keislamannya “

Beliau juga menambahkan contoh lain, pada negara-negara Islam lainnya yang pernah terjajah : “ negara itu bebas merdeka secara militer saja, tetapi peraturan perundangan dan kebiasaan barat masih saja mendominasi”. Dari titik tolak inilah – sebagaimana dikatakan Qardhawi- : Wajib bagi kita mengembakikan identitas kita dan menjaganya sehingga tidak punah dan terhapus.

Meskipun demikan, pada saat yang sama Qardhawi mengingatkan bahwa “ penjagaan kita atas identitas kesilaman, bukan berarti melarang toleransi dan mencari kesepahaman antara kita dengan kaum lainnya.  Sesungguhnya bahaya sejati adalah meniru barat secara membabi buta. Mereka ingin menjadikan kita sebagai pengekor, dan inilah yang sudah diingatkan oleh Rasulullah SAW : “ Sungguh engkau akan mengikuti tingkah laku orang-orang sebelum kamu sejengkal demi sejengkal, hingga sekiranya mereka masuk lobang biawak engkau akan mengikutinya pula. Mereka bertanya : “Yahudi dan Nasrani ?”. rasulullah SAW menjawab : Benar.

Terakhir, Qardhawi menegaskan bahwa Islam tidak menginginkan kita kehilangan kepribadian kita dan menjadi pengekor saja. (HR Bukhori Muslim)

sumber : terjemah bebas dari situs qaradawi arabic

Minggu, 27 Desember 2009

Al-Qaradhawi: Pembangunan Tembok Mesir Hukumnya Haram

Ketua Persatuan Ulama Muslim Sedunia, Dr. Yusuf Al-Qaradhawi meminta Mesir untuk menghentikan pembangunan tembok baja yang dibangun di sepanjang perbatasan Mesir dan Jalur Gaza. Ia menyatakan bahwa pembangunan ini sebagai "tindakan yang dilarang dalam Islam".

Qaradhawi mengatakan dalam copy-an pernyataan yang diterima oleh Al Jazeera Net, bahwa pembangunan tembok baja hukumnya haram dalam Islam, sebab proyek ini dimaksudkan untuk menghentikan segala bantuan ke Gaza, meningkatkan pengepungan dan kelaparan bagi rakyat Gaza, merendahkan dan menekan mereka sehingga mau berlutut dan menyerah kepada keinginan Israel.

"Benar bahwa Mesir bebas dan mempunyai hak kedaulatan atas negara mereka, tetapi mereka tidak bebas untuk membantu dalam membunuh kaumnya, saudara-saudara dan tetangganya di Palestina," ungkap Qaradhawi. Ia menekankan bahwa hal ini tidak boleh terjadi baik dari sisi arabisme karena adanya nasionalisme arab, dari sisi keislaman karena adanya ukhuwwah islamiyah, dan juga dari sisi kemanusiaan karena adanya keharusan menjaga persaudaraan kemanusiaan.

Qaradhawi juga menekankan bahwa tembok yang dibangun oleh Mesir tidak ada bandingannya selain tembok pemisah yang dibangun Israel belum pernah terjadi sebelumnya. "Israel membangun tembok pemisah untuk mencekik rakyat Palestina, dan Mesir sedang membangun tembok lain yang pada ujungnya adalah untuk kepentingan Israel." tegas Qaradhawi.

Ia juga meminta Mesir untuk membuka penyeberangan Rafah bagi rakyat Gaza, bukannya mencekik rakyat Gaza dan ikut berpartisipasi dalam pembunuhan. Ia menegaskan bahwa pembukaan gerbang Rafah wajib hukumnya menurut Islam dan undang-undang, sebab bagi rakyat Gaza gerbang Rafah adalah paru-paru untuk bernafas.

Qaradhawi meminta kepada rakyat Palestina agar kembali ke terowongan yang ada agar mereka bisa mendapatkan alternatif dari gerbang yang hampir setiap hari ditutup, walaupun yang datang adalah rombongan yang membawa bantuan kemanusiaan. "Apabila mereka juga dilarang memasuki terowongan ini, itu artinya berkata kepada mereka, matilah kalian dan hiduplah Israel." tegas Qaradhawi.

Ia juga menyerukan semua kawan dari Mesir untuk memberikan tekanan agar Mesir dapat manarik diri dari kejahatan ini yang tidak memiliki pembenaran ini. Ia mengajak Liga Arab dan Organisasi Konferensi Islam untuk ikut turun tangan menghentikan tragedi ini. (sn/alj/umr)

sumber ERA MUSLIM

Qardhawi , Guru Umat pada Zamannya

Oleh Cecep Taufikurrohman

Dari sekitar tujuh puluh enam tahun perjalanan hidup Syaikh Qardhawi (sampai tahun 2002), minimal ada dua hal yang menjadi main stream aktivitas hidupnya. Pertama adalah aktivitasnya sebagai seorang intelektual dalam bidang fikih (faqih) dan kedua adalah aktivitasnya yang sangat signifikan dalam shahwah dan harakah Islamiyah. Bagi Qardhawi, ilmu yang diraihnya di Al-Azhar adalah bekalnya dalam menggali khazanah Islam, sedangkan yang didapatkannya di lapangan bersama Ikhwan adalah bekal utamanya dalam menjalani dunia pergeraklan Islam (harakah) dan shahwahIslamiyah.

a. Muqaddimah

Mesir adalah salah satu negara di kawasan Timur Tengah yang sangat kaya dengan khazanah keislaman. Semenjak Islam masuk ke sana dan Amr bin ‘Ash menjadi gubernur pertama di bawah Khalifah Umar Ibn al-Khattab, di negeri ini telah muncul para pemikir muslim dan pembaharu yang sangat brilian. Pada zaman Islam klasik, kita mengetahui bahwa salah seorang imam madzhab Islam terbesar, Muhammad bin Idris al-Syafi’i atau yang dikenal dengan Imam Syafi’i, hampir separuh usianya beliau habiskan di Mesir. Pada tataran militer, negeri ini pernah dijadikan markas besar oleh mujâhid besar, Shalahuddin al-Ayyubi yang membebaskan al-Quds dari tangan kaum Nashrani.

Pada abad ke-19, kita mendengar tokoh pembaharu seperti Jamaluddin al-Afghani (meskipun bukan kelahiran Mesir) (1838-1897 M), yang bersama-sama dengan Syaikh Muhammad Abduh (1849-1905 M) menerbitkan majalah al-‘Urwah al-Wutsqâ di Paris. Afghani adalah seorang
pembaharu yang berusaha keras membela dunia Islam dan membebaskan mereka dari genggaman para penjajah dan terkenal dengan ide pan Islamismenya (al-Jâmi’ah al-Islâmiyah). Adapun Muhammad Abduh adalah seorang ulama yang berusaha keras melakukan  pembaharuan dan mendialogkan ajaran Islam (terutama syarî’ah) dengan  realitas masyarakat yang dihadapinya. Begitu pula muridnya, Sayyid Muhammad Rasyid Ridha (1865-1935 M), yang meneruskan tafsir al-Mannâr karya Muhammad Abduh dan menerbitkan majalah al-Mannâr.
Kemudian disusul ulama-ulama Al-Azhar lainnya yang tidak mungkin kami sebutkan  satu persatu. Tentu saja rentang waktu antara Imam Syafi’i dengan Jamaluddin al-Afghani tersebut, di Mesir telah banyak pemikir besar lainnya yang muncul.

Pada wacana pemikiran kaum intelektual muslim Mesir ini, sekitar awal abad ke-14 Hijriyah atau abad ke-19 Masehi, terjadi polemik besar antara kaum pembaharu dan kaum tradisional. Di satu sisi, kaum pembaharu berusaha keras agar dapat menghadapkan dan membawa Islam kepada persoalan-persoalan kontemporer yang tidak pernah muncul pada zaman klasik, sedangkan di sisi lain kaum tradisionalis sama sekali menolak ide pembaharuan tersebut dan mereka menangkapnya dengan penuh kecurigaan bahkan mereka menganggap bahwa ide  pembaharuan hanyalah merupakan sebuah ide besar berbau Barat yang akan menghancurkan prinsip-prinsip ajaran Islam, padahal bagi para pembaharu, upaya tajdid ini adalah sebuah keniscayaan (necessity),karena tanpanya, Islam tidak akan dapat menyentuh persoalan-persoalan baru. Akan tetapi, pembaharuan yang dilakukan harus tetap memperhatikan prinsip-prinsip pokok Islam yang tidak dapat berubah (tsawâbit).

Tentu saja arah berlawanan ini menimbulkan polemik besar dan berkepanjangan. Akan tetapi, akhirnya polemik tersebut mulai menjinak dengan munculnya beberapa pemikir baru Mesir pada awal abad ke-20 yang di antaranya adalah Syaikh Muhammad al-Ghazali dan Dr. Yusuf Qardhawi. Syaikh Muhammad al-Ghazali adalah ulama yang merepresentasikan kaum  pembaharu, sedangkan Syaikh Qardhawi adalah reprsentasi kaum tradisonal. Dengan hadirnya dua orang ulama ini, kubu  pembaharu dan tradisional mulai saling berdialog dan mendekati, sehingga kemunculan dua orang tokoh tersebut (meminjam istilah Thariq al-Busyra) seperti dua buah lautan yang bertemu pada sebuah muara (multaqâ al-Bahrain), yaitu lautan para pembaharu dan lautan kaum tradisional, yang kemudian dua laut itu menjadi satu arus. Dengan demikian, dari kolaborasi ‘cantik’ antara dua pemikir ini, kita menemukan seorang pembaharu yang memiliki ruh tradisional dan pembela prinsip-prinsip Islam (ushûl); dan seorang  tradisionalis yang memiliki jiwa pembaharu yang menggunakan tajdid sebagai jalan untuk mempertahankan eksistensi dan ushûl Islam.

Dengan demikian, gaya pemikiran Islam seperti ini, akan dapat menjadikan Islam  lebih dapat berdialog dan harmonis dengan zaman, tetapi ia tidak kehilangan kemurniannya.

Dua orang ulama ini adalah alumni Universitas Al-Azhar Mesir. Mereka sering sekali mendialogkan pemikirannya secara terbuka. Salah satunya adalah ketika Syaikh Muhammad al-Ghazali menulis sebuah buku yang berisi rekontruksi standar keshahihan hadits berdasarkan makna matan) dan tidak hanya mendasarkannya kepada kredibilitas para perawi (sanad) seperti yang dilakuakn oleh para ulama klasik. Buku tersebut berjudul: al-Sunnah al-Nabawiyyah baina Ahl al-Fiqh wa Ahl al-Hadîs. Kemudian Syaikh Qardhawi berusaha mengkritik metodologi Syaikh  al-Ghazali ini dengan metodolgi klasik yang sangat dikuaisainya. Buku tersebut berjudul Kaifa na ta’âmal ma’a al-Sunnah al-Nabawiyah (Bagaimanakah seharusnya memperlakukan Sunnah Nabawiyah). Kedua buku tersebut telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Kedua tokoh ini adalah dua orang ulama yang memiliki kedekatan secara personal dan pernah bersama-sama menjadi penghuni penjara Thûr, bahkan Qardhawi menulis buku yang secara khusus  menceritakan kedekatannya dengan Syaikh Muhammad al-Ghazali yang berjudul: al-Syaikh al-Ghazâlî Kamâ Araftuhu: Rihlah Nishf Qarn. 

Saat ini, setelah Syaikh Muhammad al-Ghazali meninggal dunia (bulan Maret tahun 1996),Syaikh Qardhawi terus berjuang dan berkarya untuk kebangkitan umat.  Tentu saja ruang sempit untuk
pengantar buku ini bukan tempatnya untuk memaparkan perjalanan dan jasa mereka terhadap Islam. Kami hanya akan menulis sebagian kecil kontribusi yang telah diberikan Qardhawi, salah seorang ulama yang masih hidup dan berusaha keras  meneruskan cita-cita para pendahulunya tersebut terhadap Islam.

 b. Masa Kecil Syaikh Qardhawi

Syaikh Yusuf Qardhawi (selanjutnya ditulis: Qardhawi) yang semenjak duduk di tingkat keempat Ibtida’iyah selalu dijuluki ‘Yâ Allâmah’ atau syaikh oleh para gurunya, beliau dilahirkan di sebuah kampung kecil yang bernama Shaft Turab. Ia adalah salah satu perkampungan asri Mesir yang terdapat di Provinsi Gharbiyah, dengan ibu kotanya Thantha. Dari Kairo, kampung tesebut berjarak sekitar 150 kilo meter atau untuk menempuhnya membutuhkan waktu sekitar 3-4 jam. Tepatnya ia dilahirkan pada tanggal 09 September 1926 dari pasangan suami istri yang sangat sederhana tetapi taat beagama. Ia tidak berkesempatan mengenal ayah kandungnya dengan
baik, karena tepat usianya baru mencapai dua tahun, ayah yang dicintainya telah dipanggil sang Khâliq, pemilik kehidupan dan kematian.

Setelah ayah kandungnya meninggal dunia, ia diasuh dan dibesarkan oleh ibu kandung, kakek dan pamannya. Akan tetapi pada saat ia duduk di tahun keempat Ibtida’iyah Al-Azhar, ibunya pun dipanggil yang maha kuasa. Beruntung, ibu yang dicintainya masih sempat menyaksikan putra tunggalnya ini hafal seluruh al-Quran dengan bacaan yang sangat fasih, karena pada usia sembilan tahun sepuluh bulan,ia telah hafal al-Qu’ran di bawah bimbingan seorang kutâb yang bernama Syaikh Hamid. Setelah ayah, Ibu dan kakeknya meninggal dunia, ia diasuh dan dibimbing oleh pamannya. Pendidikan formalnya dimulai pada salah satu lembaga pendidikan Al-Azhar yang dekat dengan kampungnya, yang hanya menerima calon siswanya yang sudah hafal al-Quran. Di lembaga pendidikan inilah Qardhawi kecil mulai bergelut dengan kedalaman khazanah Islam di bawah bimbingan para gurunya. Selain itu, dalam rentang waktu Ibtida’iyah sampai Tsanawiyah yang diseleaikannya di Al-Azhar, ia mengalami berbagai peristiwa yang kelak sangat mempengaruhi jalan hidupnya.

Salah satu peristiwa istimewa yang dialaminya di tingkat Ibtida’iyah adalah pada saat pertama kali ia mendengarkan ceramah Ustdaz al-Bana. Ketika mendengarkan ceramahnya, intuisi Qardhawi kecil mulai dapat merasakan kehadiran seorang laki-laki ‘alim yang telah menggadaikan seluruh kehidupannya hanya untuk kepentingan Islam dan umatnya.
Saat itu, Qardhawi kecil yang pernah bercita-cita untuk menjadi Syaikh Al-Azhar, dapat menangkap seluruh isi ceramah yang disampaikan Syaikh al-Bana tanpa terlewat satu bagian pun. Ia pun mulai memiliki kesadaran dan pemahaman akan pentingnya dakwah yang dilakukan secara berjama’ah; maka untuk upaya inilah ia mulai bergabung bersama Ikhwan al-Muslimin.

Pada masa kecilnya, di dalam jiwa Qardhawi terdapat dua orang ulama yang paling banyak memberikan warna dalam hidupnya, yaitu Syaikh Al-Battah (salah seorang ulama alumni Al-Azhar di kampungnya) dan Ustadz Hasan al-Bana. Bagi Qardhawi, Syaikh al-Battah adalah
orang yang pertama kali mengenalkannya kepada dunia fikih, terutama madzhab
Maliki, sekaligus membawanya ke Al-Azhar. Sedangkan Syaikh al-Bana adalah orang yang telah mengajarkannya cara hidup berjamaah, terutama dalam melaksanakan tugas-tugas berdakwah. Mengenai pengaruh al-Bana dalam dunia pemikiran dan spiritualnya, beliau pernah  mengatakan: “Di antara orang-orang yang paling banyak memberikan pengaruh besar dalam dunia pemikiran dan spiritual kami adalah Syaikh al-Syâhid al-Bana.”

c.      Proyek dan Kontribusi Qardhawi

Dari sekitar tujuh puluh enam tahun perjalanan hidup Syaikh Qardhawi (sampai tahun 2002), minimal ada dua hal yang menjadi main stream aktivitas hidupnya. Pertama adalah aktivitasnya
sebagai seorang intelektual dalam bidang fikih (faqih) dan kedua adalah aktivitasnya yang sangat signifikan dalam shahwah dan harakah Islamiyah. Bagi Qardhawi, ilmu yang diraihnya di Al-Azhar adalah bekalnya dalam menggali khazanah Islam, sedangkan yang didapatkannya di lapangan bersama Ikhwan adalah bekal utamanya dalam menjalani dunia pergeraklan Islam (harakah) dan shahwahIslamiyah. Kita akan mencoba melihat dua proyek besar yang terus menerus digarap oleh Qardhawi dalam rangka mengabdikan diri untuk kepentingan umat.

 a.Sebagai Seorang Faqih

Seperti telah disebutkan di atas, bahwa Mesir adalah salah satu negara di kawasan Timur Tengah yang sangat kaya dengan khazanah intelektual Islam. Di kawasan yang pernah disinggahi beberapa orang nabi ini, hampir semua aliran pemikiran dan madzhab keagamaan dapat kita
temukan, baik madzhab fikih, kalam maupun tasawuf. Dalam dunia fikih, di negeri ini hampir seluruh madzhab besar (terutama empat madzhab Sunni), tetap hidup dan berkembang. Tidak heran jika di sana ada beberapa daerah yang dikenal sebagai kawasan madzhab Hanafiyah, Malikiyah, Syafi’iyah ataupun Hanbaliyah.

Walaupun demikian, madzhab Imam Syafii adalah madzhab yang dianut oleh mayoritas masyarakat Mesir, terutama di perkampungan. Secara historis, hal tersebut disebabkan karena Imam Syafi’i pernah tinggal lama di Mesir (sampai meninggal dunia) dan di negeri ini pula beliau melahirkan qaul jadid, yaitu pendapat-pendapat yang sangat berbeda dengan yang pernah difatwakannya semasa di Irak (qaul qadîm).

Dalam dunia tasawuf, sampai saat ini di Mesir masih tumbuh subur berpuluh-puluh tarikat sufi yang di antaranya adalah Ahmadiyah (bukan Ahmadiyah Mirza Ghulam Ahmad), Naqsyabandiyah, Syadziliyah, Rifa’iyah, Burhamiyah, ditambah puluhan tarikat lainnya yang merupakan cabang dari lima tarikat besar tersebut. Tentu saja tumbuh subur dan terjaganya
khazanah Islam di Mesir ini tidak dapat dilepaskan dari peranan Al-Azhar yang merupakan pemilik otoritas keagamaan bagi seluruh masyarakat Mesir dan selalu membela ajaran Islam di garis paling depan.

Di kampung halaman tempat lahir dan dibesarkannya Qardhawi sendiri, terdapat beberapa madzhab fikih dan aliran-aliran tarikat yang dianut masyarakat secara turun temurun. Tradisi
ketaatan mereka terhadap madzhab tertentu secara ekstrim, telah menyebabkan mereka hidup statis dan monoton yang sering sekali berubah menjadi sikap fanatik yang tidak dapat dibenarkan oleh Islam, sehingga dalam beribadah, mereka tidak lagi mengikuti al-Quran dan Sunnah atau qaul yang argumentatif dan dapat dipertangungjawabakan. Hal tersebut disebabkan karena kepatuhan mereka adalah semata-mata merupakan kepatuhan terhadap indifidu dan bukan pada kekuatan hujjah yang digunakan.
Kondisi inilah  yang membesarkan Qardhawi. Akan tetapi ia masih sangat beruntung, karena meskipun hidup di tengah-tengah masyarakat yang madzhab centris, ia masih dapat ‘tercerahkan’ dan memiliki arus berbeda dengan masyarakat di sekitarnya. Tentu saja sikap Qardhawi ini tidak dapat dilepaskan dari peranan dan bantuan para gurunya. Semenjak duduk di tingkat Tsanawiyah, Qardhawi telah banyak belajar agar dapat hidup berdampingan dengan mereka yang memiliki pandangan berbeda. Pada tingkat ini pulalah ia mulai belajar untuk mengikuti hujjah dan bukan mengikuti figur, karena ia mengetahui (sesuai perkataan Imam Malik), bahwa semua orang memiliki kesempatan yang sama untuk mendapatkan kebenaran, meskipun pada perjalanannya, secara tidak disengaja ia melakukan kesalahan. Semua orang
(meskipun seorang ulama besar atau imam madzhab), pendapatnya dapat diterima ataupun ditolak, kecuali Rasulullah saw. Oleh sebab itu, semenjak duduk di tingkat Ibtidaiyah, jika ia mendapatkan gurunya tidak memiliki argumen yang jelas dari al-Quran dan sunnah, ia tidak segan-segan mengkritik dan membantah pendapat gurunya. Melihat sikap kritis Qardhawi kecil ini, ada gurunya yang sangat bangga tetapi ada pula yang merasa ‘jengkel’, sehingga ia pernah diusir dari kelas karenanya.

Sikap seperti ini, semenjak dini telah dibuktikan oleh Qardhawi di tengah-tengah masyarakat, yaitu pada saat ia diminta untuk mengajar ilmu-ilmu agama di sebuah masjid jami’ kampungnya. Saat itu, ia mengajarkan ilmu fikih tetapi yang diajarkannya bukanlah qaul-qaul madzhab Syafi’i yang dianut oleh mayoritas penduduk. Ia mengajarkan fikih langsung dari sumber utamanya, yaitu al-Qur’an dan Sunnah shahihah ditambah dengan fatwa para sahabat. Ia sendiri mengakui bahwa metode pengajaran yang diterapkannya ini diambilnya dari metode yang digunakan oleh Sayyid Sabiq dalam Fiqh Sunnahnya.

Tentu  saja upaya-upaya Qardhawi tersebut mendapatkan penentangan yang sangat kuat dari masyarakat yang selama ini hanya hidup dalam Syafi’iyah cyrcle. Resistensi masyarakat dan para
ulama tua di kampungnya ini mencapai puncaknya dengan sebuah ‘pengadilan’ yang mereka adakan secara khusus untuk meminta pertanggungjawaban Qardhawi. ‘Pengadilan’ tersebut akhirnya berubah bentuk menjadi sebuah forum polemik seru antara Qardhawi muda dengan para ulama madzhab di kampungnya. Pada perdebatan tersebut, ia berhasil meyakinkan para ulama dan masyarakatnya, bahwa ia bukanlah orang yang membenci madzhab, bahkan ia adalah salah seorang  pengagum para imam madzhab dengan kelebihan dan kekurangan mereka masing-masing.

Ia menganjurkan seandainya kita akan mengambil sebuah qaul dari madzhab tertentu, maka ia harus diambil langsung dari qaul pendirinya yang ditulis dalam buku induknya. (seperti al-Um bagi madzhab Syafi’i), karena jika suatu madzhab semakin dekat kepada sumber-sumber utamanya, maka pengikutnya akan semakin toleran, tetapi jika mereka semakin jauh dari sumber aslinya, justru inilah yang selalu menimbulkan fanatisme buta, meskipun mereka mengetahui bahwa pendapat tersebut tidak memiliki hujjah yang kuat.

Selain itu, sikap toleran yang dimilikinya didapatkan pula dari Ikhwan al-Muslimin, sebuah pergerakan Islam yang membina umat dari berbagai segmen,sehingga ia banyak belajar berbaur dengan mereka yang memiliki faham berbeda memiliki latar belakang pendidikan berbeda.

Sikapnya dalam memperlakukan fikih tersebut berlanjut sampai masa tua. Oleh sebab itu, tidak heran jika pada saat ia mulai mencapai kematangan dalam dunia fikih, ia memilih metode fikihnya dengan semangat moderasi (wasathiyah), toleransi (tasâmuh), lintas madzhab dan selalu menghendaki kemudahan bagi umat (taisîr), serta mengakses penggalian hukum secara langsung dari sumbernya yang asli, yaitu al-Quran dan sunnah shahihah. Dengan metode inilah Qardhawi menjelajahi dunia fikih, dari tema-tema yang paling kecil seperti masalah lalat yang hingap pada air, sampai masalah yang paling besar seperti ‘Bagaimanakah Islam menata sebuah
negara’?, atau dari tema yang paling klasik seperti masalah thahârah, sampai yang paling kontemporer seperti masalah demokrasi, HAM, peranan wanita dalam masyarakat dan pluralisme (ta’addudiyah).

Di dalam ijtihad fikihnya, Qardhawi telah berhasil membuat sebuah formulasi baru dalam memperlakukan fikih, terutama ketika ia berhadapan dengan persoalan-persoalan kontemporer. Di antara formula yang dibangunnya adalah mengenai perlunya dibangun sebuah fikih baru (fiqh
jadîd) yang akan dapat membantu menyelesaikan persoalan-persoalan baru umat. Walaupun demikian, yang dimaksudnya dengan ‘fikih’, tidak hanya terbatas pada persoalan-persoalan yang berkaitan dengan hukum-hukum juz’i yang diambil dari dalil-dalil terperinci (tafshîlî) seperti
persoalan-persoalan thaharah, shalat, zakat dan lain sebagainya, bukan pula hanya merupakan sebuah sistem ilmu dalam Islam. Lebih dari itu, seraya mengutip al-Ghazali, yang dimaksudnya dengan kata ‘fikih’ adalah merupakan sebuah pemahaman yang komprehensif terhadap Islam, yaitu al-Fiqh (fikih) sebagai al-Fahm (pemahaman).  Adapun fikih baru yang berusaha dibangunnya antara lain adalah sebuah fikih terdiri dari:


1.    Fikih Keseimbangan (fiqh al-Muwâzanah).

Yang dimaksudnya dengan fikih keseimbangan (muwâzanah) adalah sebuah metode yang dilakukan dalam mengambil keputusan hukum, pada saat terjadinya pertentangan dilematis antara maslahat dan mafsadat atau antara kebaikan dan keburukan, karena menurutnya, di zaman kita sekarang ini sudah sangat sulit mencari sesuatu yang halal seratus persen atau yang haram seratus persen. Menurutnya, dengan menggunakan sistem fikih seperti ini, kita akan dapat memahami: Pada kondisi seperti apakah sebuah kemudaratan kecil boleh dilakuakan
untuk mendapatkan kemaslahan yang lebih besar, atau kerusakan temporer yang boleh dilakukan untuk mempertahankan kemaslahatan yang kekal, bahkan kerusakan yang besar pun dapat dipertahankan jika dengan menghilangkannya akan menimbulkan kerusakan yang lebih besar.

2.     Fikih realitas (Fiqh Wâqi’î).

Yang dimaksudkannya dengan fikih wâqi’î adalah sebuah metode yang digunakan untuk memahami realitas dan persoalan-persoalan yang muncul di hadapan kita, sehingga kita dapat menerapkan hukum sesuai dengan tuntutan zaman.

3.    Fikih prioritas (Fiqh al-Aulawiyât). 

Yang dimaksudnya dengan fikih prioritas adalah sebuah metode untuk menyusun sebuah sistem dalam menilai sebuah pekerjaan, mana yang seharusnya didahulukan atau diakhirkan. Salah satunya adalah bagimana mendahulukan ushûl dari furû’, mendahulukan ikatan Islam dari ikatan yang lainnya, ilmu pengethuan sebelum beramal, kualitas dari kuantitas, agama dari jiwa serta mendahulukan tarbiyah sebelum berjihad.

4.Fiqh al-Maqâshid al-Syarî’ah,

yaitu  sebuah fikih yang dibangun atas dasar tujuan ditetapkannya sebuh hukum. Pada teknisnya, metode ini ditujukan bagaimana  memahami nash-nash syar’i yang juz’î dalam konteks maqâshid al-Syarî’ah dan mengikatkan sebuah hukum dengan tujuan utama ditetapkannya hukum tersebut, yaitu melindungi kemaslahatan bagi seluruh manusia, baik dunia maupun akhirat. Ia mengutip Ibn Qayyim yang mengatakan, bahwa prisip utama yang menjadi dasar ditetapkannya syari’ah adalah kemaslahatan dan kebaikan bagi seluruh umat
manusia. Oleh karena itu, maka seluruh kandungan syari’ah selalu berisi keadilan, kasih sayang Tuhan dan hikmah-Nya yang mendalam. Dengan demikian, segala sesuatu yang di dalamnya mengandung kelaliman, kekejian, kerusakan dan ketidakbergunaan, maka pasti ia bukanlah syari’ah.

5.     Fikih perubahan (Fiqh al-Tagyîr).

Ia adalah sebuah metode untuk melakukan perubahan terhadap tatanan masyarakat yang tidak Islami dan mendorong masyarakat untuk melakuakn perubahan tersebut.

Selain itu, kontribusi lain yang diberikan Qardhawi dalam bidang fikih adalah bagaimana mencairkan kejumudan umat Islam dalam menghadapi zaman. Menurutnya, salah satu penyebab kejumudan tersebut adalah berhentinya kreativitas umat dalam berijtihad yang merupakan dapur utama kemajuan mereka. Dari masa ke masa, persoalan umat selau berkembang, terutama setelah terjadinya inovasi-inovasi baru dalam  bidang sains dan teknologi, sementara seperti kita fahami bersama, jumlah ayat al-Quran dan hadits nabi,
sampai kiamat mustahil akan bertambah. Oleh sebab itu, tidak ada cara lain untuk menjawab persoalan-persoalan tersebut kecuali melalui jalan ijtihad yang didasarkan pada prinsip-prinsip utama ajaran Islam.

Menurutnya, melakukan ijtihad adalah merupakan sebuah kewajiban agama kolektif (fardlu kifâyah), artinya pada setiap zaman harus ada seseorang yang mampu dan mau melakukannya, bahkan bagi mereka yang sudah mencapai kemampuan untuk melakukanya, ijtihad adalah merupakan sebuah kewjiban indifidual (fardhu ‘ain)..

Meskipun demikian, menurut Qardhawi, dalam melakukan ijtihad kontemporer, terdapat beberapa kode etik ijtihad yang harus menjadi acuan utama para mujtahid, baik yang berhubungan dengan para mujtahid (sebagai subjek) maupun yang berhubungan dengan  tema persoalan (objek). Kode etik yang berkenaan dengan para mujtahid antara lain:

Pertama : Dalam melakukan ijtihad, hendaknya  seseorang telah memiliki perangkat-perangkat utama yang diperlukan dalam   berijtihad. Perangkat-perangkat tersebut  antara lain: harus memahami bahasa   Arab, memiliki pengetahuan yang memadai mengenai al-Quran dan sunnah, ushul       fikih serta memiliki keahlian dalam beristidlal. Syarat lain yang tidak kalah       penting adalah agar seorang mujtahid benar-benar memahami kondisi zamannya, sehingga ia dapat menetapkan sebuah hukum  yang sesuai dengan tuntutan  zamannya. Dengan demikian, maka seorang mujtahid tidak akan menjadi masyarakat elit yang berada di menara gading, dan keputusan hukum yang diambilnya jauh  dari realitas umat, dengan istilah lain mujtahid fî wâdin dan realitas   umat fî wâdin âkhar. Artinya, dalam menentukan hukum, ia tidak akan       memandang sebuah kasus hanya sebagai kasus yang berdiri sendiri tanpa melihat latar belakang dan faktor-faktor penyebabnya. Ia mencontohkan hal ini dengan  ijtihad Ibn Taimiyah. Pada saat Ibn Taimiyah bersama beberapa orang muridnya melewati barak tentara Tatar, beliau mendapatkan mereka sedang pesta mabuk.  Tentu saja para murid Ibn Taimiyah tidak dapat menerima kenyataan ini. Akan  tetapi kepada para muridnya Ibn Taimiyah berkata: “Biarkan saja mereka   tenggelam dalam mabuk dan khamar. Allah telah mengharamkannya karena ia dapat
menghalangi seseorang dari dzikir dan shalat, tetapi saat ini kita lihat      khamar telah menghalangi mereka dari melakukan pembunuhan dan peperangan”

   2.      Dalam melakukan ijtihad, hendaklah   seorang mujtahid selalu independen dan tidak berada di bawah tekanan pihak   manapun. Memang kode etik ijtihad tersebut sangat ideal dan menjadi kriteria untama untuk seorang mujtahid muthlak. Akan tetapi pada prakteknya, semua orang dapat melakuakn ijtihad dalam bidang tertentu yang menjadi spesialisasinya atau yang disebut dengan  al-Mujtahid al-Juz’î, yaitu seseorang yang hanya berijtihad pada beberapa persoalan yang menjadi spesialisasinya saja.
Adapun kode etik yang berhubungan dengan objek ijtihad adalah sebagai berikut:

   1.      Hendaknya ijtihad yang dilakukan  hanya pada wilayah-wilayah yang dzannî, baik dzannî dilâlah  maupun dzannî al-Tsubît. Dengan demikian kita tidak diperkenankan untuk  berijtihad pada persoalan-persoalan yang qathî, karena persoalan yang  didasarkan pada dalil qath’i, bukan merupakan wilayah ijtihad.
   2.      Ijtihad dapat dilakukan baik dalam  tema-tema yang benar-benar baru (ijtihâd insyâ’î) maupun dalam memilih pendapat yang argumennya paling kuat, paling sesuai dengan Maqâshid
      al-Syarî’ah dan paling maslahat bagi umat.


 b.Dalam Dunia Dakwah (Harakah Dan Shahwah Islamiyah)

Selain sebagai seorang penulis dan pemikir produktif, Qardhawi aktif pula dalam dunia dakwah (harakah dan shahwah Islamiyah). Yang dimaksud dengan shahwah adalah sebuah upaya untuk
membangkitkan umat dari keterlenaan, keterbelakangan, kejumudan dan melepaskan mereka dari konflik internal melalui berbagai wujud usaha dengan tujuan memperbaharui agama, sehingga dapat memperbaharui kehidupan dunia mereka. Pada tataran teknis, cita-cita shahwah tersebut berusaha diwujudkan dalam sebuah aktivitas harakah. Ia menyadari bahwa untuk mencapai tujuan tersebut, tidak dapat dilakukan secara individual, tetapi ia membutuhkan sebuah kerja massal (‘amal jamâ’i) yang tersusun dan  terprogram secara rapi.

Oleh karena hal inilah maka semenjak duduk di tingkat Tsanawiyah, Qardhawi telah memulai tugas berdakwah dengan bergabung bersama Ikhwan dan semenjak awal, ia telah dipersiapkan agar menjadi salah seorang kader terbaik mereka. Salah satunya adalah pada saat ia ditunjuk untuk menjadi da’i Ikhwan untuk seluruh Mesir, dari Provinsi Alexandria (Iskandariyah) sampai Aswan dan Sinai, bahkan ia pernah ditugaskan berdakwah di beberapa negara Arab seperti Suria, Libanon dan Yordania, dengan dana yang didapatkannya dari Ustadz Hasan al-Hudhaibi, Mursyid ‘âm Ikhwan yang kedua, padahal saat itu ia masih berstatus sebagai seorang mahasiswa.

Selain menjadi aktivis di lapangan, Qardhawi juga adalah merupakan salah seorang pemikir yang ide-idenya banyak dijadikan sebagai referensi oleh para aktivis harakah. Menurutnya, yang
dimaksud  dengan harakah adalah sebuah pekerjaan yang dilakukan secara kolektif dan dimulai dari masyarakat paling bawah (bottom up) dan terorganisir secara rapih dalam upaya mengembalikan masyarakat kepada ajaran Islam. Menurut Qardhawi, tujuan utama yang harus direalisasikan oleh sebuah harakah Islamiyah adalah bagaimana mewujudkan sebuah pembaharuan (tajdîd).
Melakukan tajdîd adalah merupakan sebuah sunnatullah yang akan terus berulang. Hal ini ditegaskan dalam sebuah hadis riwayat Abu Dawud dan al-Hakim: “Sesunggunya pada setiap seratus tahun, Allah akan mengutus untuk umat ini, orang yang memperbaharui agamanya”. Yang dimaksudkannya dengan pembaharuan (tajdid) adalah sebuah upaya untuk memperbaharui pemahaman keagamaan, keimanan,  sikap iltizam kepada agama serta memperbaharui metode dakwah yang digunakan. Ia bukanlah sebuah usaha untuk membuat aturan baru dalam agama dengan merubah prinsip-prinsip baku (tsawabit) atau merusak tatanan ajaran yang qath’i.

Adapun bidang-bidang yang harus diprioritaskan dalam memncapai tujuan tersbeut  antara lain adalah:  pendidikan (tarbiyah), pekerjaan politik (siyâsah), ekonomi (iqtishâdiyah), sosial (ijtimâ’iyah), media massa (wasâ’il al-‘Ilâm) dan pekerjaan ilmiah.

Kontribusi Qardahawi dalam dunia dakwah tersebut, sangat kental dengan warna Hasan al-Bana. Dalam hal ini kita dapat mengatakan, jika Ustadz al-Bana adalah merupakan pendiri (mu’assis) dan disigner harakah Ikhwan, kemudian diteruskan oleh para mursyid ‘âm lainnya, maka kemunculan Qardhawi dalam harakah ini adalah sebagai  penyambung lidah dan penerus cita-cita al-Bana. Kita mengetahui bersama bahwa perjuangan al-Bana dalam membesarkan harakah tersebut telah sampai pada tahap pembentukan sebuah harakah yang terorganisir. Setelah lama berkembang, maka kemunculan Qardhawi dalam gerakan ini adalah sebagai orang yang berusaha memagari harakah tersebut.

Oleh sebab itu, karya-karya utama Qardhawi dalam bidang harakah dan shahwah Islamiyah, selalu diarahkan kepada upaya memperkokoh gerakan tersebut. Di antara karya-karyanya yang diarahkan kepada tujuan tersebut adalah al-Shahwah al-Islâmiyyah baina al-Juhûd wa al-Tatharruf, al-Shahwah al-Islâmiyyah baina al-Ikhtilâf al- Masyrû’ wa al-Tafarruq al-Madzmûm, al-Shahwah al-Islâmiyyah wa Humûm al-Wathan serta Aulawiyyât al-Harakah al-Islâmiyah fi al-Marhalah al-Qadîmah. Pada empat karya tersebut, Qardhawi berusaha keras membuat batasan-batasan etis yang harus dipegang dalam menjalankan tanggung jawab harakah, serta mengobati penyakit yang biasanya menghingapi para aktivis harakah. Menurut Qardhawi, hal-hal yang harus dilakukan oleh seorang aktivis harakah Islamiyahadalah bagaimana mewujudkan sikap moderat (wasathiyah) dan menghindari sikap ekstrem (tatharruf), menghindari sikap yang terlalu mudah mengkafirkan seseorang (takfîr)  serta sudah saatnya agar harakah Islamiyah membuka diri untuk berdialog dengan arus yang selama ini berseberangan dengan mereka, baik kalangan sekuler, orientalis, mereka yang berbeda agama,  bahkan dialog dengan mereka yang ateis, sehingga harakah Islamiyah tidak lagi diasumsikan sebagai gerakan yang ekslusif

Satu hal yang tidak kalah penting bagi para aktivis harakah Islamiyah adalah agar mau merangkul semua kelompok yang sama-sama memiliki dedikasi untuk Islam, sehingga dalam menghadapi berbagai kekuatan dan pemikiran yang akan merusak jati diri Islam, mereka dapat
bersatu padu dalam sebuah barisan yang kokoh dengan seluruh kekuatan yang mereka miliki bersama.

 c.Pro-Kontra Seputar Pemikiran Qardhawi

Adalah merupakan salah satu sunnah Allah bahwa kehidupan manusia  tidak akan ada yang mencapai kesempurnaan. Tidak ada seseorang yang ide-idenya akan selau mulus diterima tanpa reserve oleh berbagai kelompok. Begitu pula dengan usaha-usaha yang dilakuakan oleh Qardhawi, karena selain para pengagum yang selalu terperangah dengan ide-ide briliannya,ada juga kelompok lain yang harus ‘berfikir dua kali’ untuk menerima ide-idenya, bahkan ada pula yang mencurigai seluruh usahanya. Pada dasarnya kritikan yang disampaikan oleh siapa dan kepada siapa pun, akan sangat konstruktif jika dilakukan dengan cara-cara yang cerdas dan beradab, sehingga generasi yang akan datang, dapat belajar banyak dari mereka. Akan tetapi, semua itu akan menjadi preseden buruk bagi masa depan umat, jika dilakukan secara emosional dan penuh kecurigaan.

Pada konteks inilah kita akan memahami pihak-pihak yang berseberangan dengan Qardhawi. Di antara para ulama yang mengkritik Qardhawi dengan ilmu dan menghargai seluruh usahanya adalah Syaikh Nashiruddin al-Albani (peneliti hadits terbesar abad 20), Syaikh Abdullah bin Beh dan Syaikh Rasyid al-Ghanusi. Untuk mengkritik Qardhawi, Syaikh al-Albani, menulis sebuah buku yang berjudul Ghâyah al-Marâm fî Takhrîj Hadîts al-Halâl wa al-Harâm. Pada buku ini beliau berusaha meneliti (takhrîj) kesahihan hadis-hais yang digunakan Qardhawi dalam bukunya yang
berjudul al-Halâl wa al-Harâm fî al-Islâm. Selain itu, menurut Isham Talimah, kelompok yang keras mengkritik pemikiran Qardhawi adalah mereka yang menamakan diri sebagai kaum Salafî. Ia telah menemukan ada oknum mereka yang menulis sebuah buku yang berjudul al-Qardhâwi fî al-Mîzân. Buku ini beredar luas di Sudi Arabia. Isham Talimah mengatakan, bahwa ia pernah bertanya mengenai persoalan ini kepada salah seorang pejabat Konsul Saudi Arabia di Qathar. Ternyata ia menjawab bahwa buku tersebut ditulis oleh seseorang yang tidak dikenal, karena ulama-ulama Saudi sangat respek terhadap pemikiran Qardhawi. Buku ini telah dijawab dengan
ilmiah dan penuh tangung jawab oleh salah seorang mantan hakim Syari’ah Qathar, Syaikh Walid Hadi.

d. Penutup

Demikianlah pembacaan kami terhadap usaha dan karya ulama yang karya tulisnya telah mencapai ratusan ini. Apapun yang kami tangkap dan tuangkan pada tulisan sederhana ini adalah merupakan sebuah pandangan sederhana dari seseorang yang ingin berpihak kepada kebenaran dan ingin menjauhi sikap berat sebelah. Apapun hasilnya, Allah maha tahu terhadap mereka yang tulus membela agama-Nya dan Dia maha tahu pahala apa yang layak diberikan-Nya.
Wallâhu ‘Alam bi al-Shawâb.

 Kairo,  22 Juni 2002 M,  11 Rabi’utsani  1423 H

sumber ISLAM LIB

Metode Ijtihad Qardhawi ( Bagian 2 )

Mengenai peluang ulama untuk berijtihad saat ini menurut Qardhawi adalah suatu keharusan dan hukumnya fardu kifayah. Ada tiga macam ijtihad yang dikemukakan oleh Qardhawi, yaitu ijtihad intiqa’i, ijtihad insya’i, dan ijtihad integrasi antara ijtihad intiqa’i dan insya’i.


PERTAMA : Ijtihad Intiqa’i/Tarjih

Yang dimaksud dengan ijtihad intiqa’i adalah memilih suatu pendapat dari beberapa pendapat terkuat yang terdapat pada warisan fikih Islam yang penuh dengan fatwa dan putusan
hukum. Qardhawi tidak sependapat dengan orang-orang yang mengatakan bahwa kita boleh berpegang pada pendapat dalam bidang fikih (pemahaman) karena sikap itu merupakan taqlid
tanpa dibarengi argumentasi. Seharusnya diadakan studi komparatif terhadap pendapat-pendapat itu dan meneliti kembali dalil-dalil nash atau dalil-dalil ijtihad yang dijadikan dasar
pendapat tersebut, sehingga pada akhirnya dapat diketahui dan dipilih pendapat yang terkuat dalilnya dan alasannya pun sesuai dengan kaidah tarjih, seperti mempunyai relevansi dengan
kehidupan pada zaman sekarang, pendapat itu mencerminkan kelemahlembutan dan kasih sayang kepada manusia, pendapat itu mendekati kemudahan yang ditetapkan oleh hukum Islam, pendapat itu lebih memprioritaskan realisasi maksud-maksud syara, kemaslahatan manusia, dan menolak marabahaya. Kegiatan tarjih yang dilakukan oleh ahli tarjih pada masa
kebangkitan kembali hukum Islam berbeda dengan kegiatan tarjih pada masa kemunduran hukum Islam. Pada masa yang disebutkan terakhir ini, tarjih diartikan sebagai kegiatan yang
tugas pokoknya adalah menye leksi pendapat para ahli fikih di lingkungan intern madzhab tertentu, seperti syafi’iyah, malikiyah, dll. Sedangkan pada periode kebangkitan Islam, tarjih
berarti menyeleksi berbagai pendapat dari bermacam madzhab, baik beraliran sunni atau tidak. Jadi, sifatnya lintas madzhab

Ada beberapa faktor yang dapat mempengaruhi hasil dari ijtihad tarjih ini. Sedikitnya menurut Qardhawi ada tiga hal, yakni perubahan sosial politik, kemajuan ilmu pengetahuan dan
teknologi modern, dan adanya desakan dari perkembangan zaman.

Contoh ijtihad tarjih adalah tentang harusnya meminta izin untuk menikahkan anak gadis. Golongan Syafi’i, Maliki, dan mayoritas golongan Hanbali berpendapat sehungguhnya orang
tua berhak memaksakan anak gadisnya yang sudah akil balig untuk menikah dengan calon suami yang dipilih oleh orang tua walaupun tanpa persetujuan gadis tersebut. Alasan yang
digunakan adalah orang tua lebih tahu tentang kemaslahatan anak gadisnya.
Cara yang demikian itu mungkin masih dapat diterapkan pada seorang gadis yang belum mengenal sedikitpun tentang kondisi dan latar belakang suaminya, sedangkan di zaman
modern sekarang para gadis mempunyai kesempatan luas untuk belajar, bekerja dan berinteraksi dengan lawan jenis dalam kehidupan ini. Akhirnya, hasil dari ijtihad tarjih ini adalah
mengambil pendapat Abu Hanifah yakni melibatkan urusan pernikahan kepada calon mempelai wanita untuk mendapatkan persetujuan dan izinnya.

Contoh lain dari ijtihad intiqa’i adalah tentang kekayaan yang dalam bahasa al-Qur’an disebut dengan al-amwal, yakni segala sesuatu yang sangat diinginkan oleh manusia untuk melikinya.

Menurut Ibnu Asyir, kekayaan pada mulanya adalah emas dan perak tetapi kemudian berubah pengertiannya menjadi sesuatu yang disimpan dan dimiliki. Menurut madzhab Hanafi, kekayaan adalah segala yang dapat dimiliki dan digunakan menurut kebiasan. Kekayaan dapat
disebut kekayaan apabila memenuhi dua syarat tersebut, seperti tanah, binatang, barang-barang, perlengkapan dan uang. Sesuatu yang tidak dapat dimanfaatkan tetapi mungkin dimiliki
seperti ikan di laut, binatang di hutan dan burung di udara adalah termasuk kekayaan. Sebaliknya sesuatu yang dapat dimanfaatkan tetapi tidak mungkin dimiliki seperti cahaya dan
panas matahari, tidak termasuk kekayaan., begitu juga sesuatu yang secara nyata dapat dimiliki tetapi tidak dapat dimanfaatkan seperti sebutir beras, segenggam tanah, setetes air dan
sebagainya.

Menurut madzhab Maliki, Syafii dan Hanbali, yang dimaksud dengan kekayaan adalah termasuk segala manfaat yang dapat dikuasai dengan cara menguasai tempat dan sumbernya.
Ibnu Najim berpendapat bahwa kekayaan, sesuai dengan yang ditegaskan oleh ulama-ulama ushul fikih adalah sesuatu yang dapat dimiliki dan disimpan untuk keperluan, Setelah memperhatikan dan mempelajari berbagai pendapat tadi, maka Qardhawi menyimpulkan bahwa yang paling tepat adalah pendapat madzhab Hanafi. Alasannya adalah pengertian tersebut lebih dekat pengertiannya dalam kamus kamus Arab dan dapat diterapkan pengertiannya melalui nash nash tentang zakat. Dengan demikian maka yang dimaksud
dengan kekayaan adalah sesuatu yang berwujud dan dapat dimiliki, itulah yang dapat dibebani kewajiban untuk mengeluarkan zakat.

KEDUA : Ijtihad Insya’i

Yang dimaksud dengan ijtihad insya’i adalah pengambilan konkluse hukum dari suatu persoalan yang belum pernah dikemukakan oleh ulama terdahulu. Atau cara seseorang mujtahid kontemporer untuk memilih pendapat baru dalam masalah itu, yang belum ditemukan didalam pendapat ulama salaf. Boleh juga ketika para pakar fikih terdahulu berselisih pendapat sehingga terkatub pada dua pendapat, maka mujtahid masa kini memunculkan pendapat ketiga.
Sebagian besar ijtihad insya’i ini terjadi pada masalah masalah baru yang belum dikenal dan diketahui oleh ulama terdahulu serta belum pernah terjadi pada masa mereka. Kalaupun mengenalnya, tentu masih dalam skala kecil yang belum mendorong mereka untuk mengadakan penelitian demi mencari penyelesaiannya. Mengenai ijtihad insya’i ini, Qardhawi berpendapat bahwa setelah mengutip berbagai pendapat para ulama, maka langkah selanjutnya adalah mengkaji kembali berbagai pendapat tersebut, kemudian menarik simpulan yang sesuai dengan nash al-Quran dan Hadits, kaidah-kaidah dan maqashid al-syar’iyah sambil berdoa semoga Allah mengilhamkan kebenaran, tidak menghalangi tabir pahala,dan menjaga dari belenggu fanatisme
dan taqlid serta hawa nafsu dan prasangka buruk terhadap orang lain.

Sebagai contoh ijtihad insya’i adalah para pakar fikih pada zaman moderen ini berpendapat bahwa rumah, pabrik, tanah, dan sebagainya yang disewakan wajib dikeluarkan zakatnya. Pendapat ini dikemukakan oleh Muhammad Abu Zahrah, Abdul Wahhab Khalaf dan Abdurrahman Hasan, Qardhawi sangat mendukung pendapat tersebut dengan pembahasan yang lengkap dengan dalil-dalil yang dipegangi.

Apabila pemilik tanah menyewakan tanahnya dengan sewa berupa uang atau lain-lain yang menurut jumhur hukumnya boleh, maka siapakah yang berkewajiban membayar zakatnya, apakah pemilik tanah atau penyewa tanah? Menurut Abu Hanifah, zakat wajib atas pemilik tanah. Berdasarkan ketentuan bahwa zakat adalah kewajiban tanah yang memproduksi, bukan kewajiban tanaman. Dan bahwa zakat adalah beban tanah yang sama kedudukannya dengan kharaj. Maka dalam hal sewa, tanah yang seharusnya diinvestasi dalam bentuk pertanian lalu diinvestasi dalam bentuk sewa, berarti sewa tersebut sama kedudukannya dengan hasil tanaman.
Demikian juga pendapat Ibrahim al-Nakha’I , Malik, Syafii, al –Tsauri, Ibn al-Mubarak dan Jumhur
ulama Fikih berpendapat bahwa zakat wajib atas orang yang menyewa, karena zakat adalah beban tanaman bukan beban tanah. Pemilik tanah bukanlah penghasil biji-bijian dan buah-buahan yang karenanya tidak mungkin mengeluarkan zakat hasil tanaman yang bukan miliknya. Menurut Ibnu Rusyd perbedaan pendapat disebabkan tidak ada kepastian apakah zakat tersebut
merupakan beban tanah, beban tanaman atau beban keduanya.

Al-Mughni menilai bahwa pendapat Jumhur lebih kuat, zakat diwajibkan atas hasil tanaman. Sedangkan Al-Rafii berpendapat bahwa penyewa tanah mempunyai dua kewajiban yakni membayar sewa dan membayar zakat. Setelah mempelajari pendapat para ulama tersebut maka Qardhawi mengemukakan pendapat bahwa yang adil adalah baik penyewa maupun pemilik harus secara bersama-sama menanggung zakat itu masing-masing sesuai dengan
perolehannya
Jadi pemilik tanah juga diwajibkan mengeluarkan zakat dari hasil sewa, sedangkan pendapat tersebut belum pernah dikemukakan oleh ulama-ulama terdahulu. Ijtihad yang demikian
disebut ijtihan insya’i. Pendapat tersebut sangat adil dan sangat realistis diterapkan dizaman sekarang.

Ketiga : Integrasi antara Ijtihad Intiqa’i dan Insya’i

Di antara bentuk ijtihad kontemporer adalah ijtihad perpaduan antara intiqa’i dan insya’i, yaitu memilih pendapat para ulama terdahulu yang dipandang lebih relevan dan kuat kemudian dalam pendapat tersebut ditambah unsur-unsur ijtihad baru.

Sebagai contoh ijtihad jenis ini adalah masalah aborsi. Lajnah Fatawa di Kuwait mengeluarkan pendapat tentang aborsi yang dibolehkan dan yang diharamkan. Lajnah Fatawa telah menyeleksi pendapat-pendapat para pakar fikih Islam sekaligus menambahkan unsur-unsur kreasi baru yang dituntut oleh kemajuan ilmu pengetahuan dan ilmu kedokteran. Yang ditunjang dengan segala peralatan teknologi canggih dan kemampuan untuk mendeteksi apa yang menimpa pada janin dalam bulan-bulan pertama, berupa cacat yang mempunyai pengaruh fisik/biologis dan psikis pada kehidupan si janin dikemudian hari menurut sunnatullah yang berlaku di alam ini.

Isi Fatwa yang dikeluarkan tanggal 29 September 1984 itu adalah seorang dokter dilarang menggugurkan kandungan seorang wanita yang telah genap 120 hari, kecuali untuk
menyelematkan wanita/ibu itu dari marabahaya yang ditimbulkan oleh kandungannya. Dan seorang dokter boleh menggugurkan kandungan wanita dengan persetujuan kedua belah pihak yaitu suami istri, sebelum kandungan itu genap berusia 40 hari, yakni saat masih berbentuk segumpal darah. Apabila kandungan itu sudah lebih dari 40 hari dan belum sampai 120 hari maka dalam keadaan seperti ini tidak boleh dilakukan abortos kecuali dalam dua kondisi berikut ini:
a. Apabila kandungan itu tetap dipertahankan, akan menimbulkan bahaya bagi sang ibu dan bahaya itu akan berlangsung terus menerus sampai sehabis melahirkan.
b. Apabila sudah dapat dipastikan bahwa janin yang lahir akan menderita cacat baik fisik atau akalnya, yang kedua hal itu tidak mungkin dapat disembuhkan.

(bersambung)
sumber :
Suhartono, S.Ag.,SH.,MH.(Hakim PA Martapura)

Jumat, 25 Desember 2009

Qardhawi : Untuk apa Nobel Perdamaian untuk Obama ?

Selain menyampaikan agar umat Islam jangan sampai terlibat dalam segala hal yang berhubungan dengan Natal, pada kesempatan yang sama, di stasiun televisi Qatar, Dr. Yusuf Qardhawi, juga menyampaikan satu dua kata kepada presiden AS, Barack Obama. Berikut petikannya:

“Ada masalah lain yang ingin saya bicarakan secara singkat. Obama menerima Hadiah Nobel Perdamaian. Saya tidak tahu mengapa mereka memberinya hadiah ini.

Apa yang membuat Mr Obama layak mendapatkan hadiah? Tidak ada perdamaian di Irak. Tidak pula Afghanistan. Tidak di Somalia. Tidak ada perdamaian di negara manapun. Dia tidak bahkan berhasil memaksa Israel untuk menghentikan aktivitas pemukiman.

Obama menarik beberapa prajurit dari Irak, hanya untuk mengirim mereka ke Afghanistan –dari satu perang ke perang yang lain, dari satu pertumpahan darah yang lain.

Darah terus ditumpahkan di Irak dan di Afghanistan, dan saya harus menambahkan Pakistan, Yaman, Sudan, dan seterusnya. Dunia ini mendidih dengan perang, jadi untuk apa Mr Obama mendapatkan Hadiah Nobel Perdamaian?” (sa/islamicawakening)

sumber ERAMUSLIM

Qardhawi : Jauhilah apa saja yang berhubungan dengan Natal

Inilah taujih yang disampaikan oleh Syeikh Yusuf Al Qardhawi di stasiun televisi Qatar, belum lama ini. Isi taujihnya dengan jelas dan tegas melarang umat Islam untuk terlibat dalam kegiatan Natal. Berikut petikannya.
"Saudara-saudara,
Saya ingin berbicara berbicara tentang apa yang sedang terjadi di sekeliling kita sekarang ini. Saya ingin bertanya bagaimana bentuk rupa masyarakat kita hidup di negara dimana ada Muslim dan Kristen. Apa yang terjadi di toko-toko dan di jalan-jalan Doha (misalnya); semua perayaan yang disebut kelahiran Yesus, atau Natal? Seolah-olah kita hidup di negara Eropa Kristen.
Kita bahkan tidak merayakan kelahiran dari Nabi Muhammad, tetapi kita merayakan Natal?! Pohon Natal, 4 atau 5 meter, yang didirikan di toko-toko, dan tokok-toko itu dimiliki oleh keluarga muslim. Apa ini?! Ini berarti bahwa umat ini meninggalkan identitasnya yang muslim. Islam menginginkan kita untuk mempertahankan keunikan Islam.
Orang-orang Krsiten mencegah kita membangun kubah masjid dan mereka akan melarang pembangunan masjid-masjid. 41% dari orang-orang yang disurvei di Prancis [mendukung] mencegah pembangunan masjid, sementara 47% mendukung pelarangan kubah serta masjid.
Apakah umat Islam di Eropa dan Amerika –dan jutaan mereka di beberapa negara—dapat merayakan Ramadhan dan Hari libur Islam di pusat-pusat kota, seperti beberapa orang di Arab dan negara-negara Muslim dan kota-kota, di Jazirah Arab? Bisakah dibayangkan apa yang terjadi dengan umat ini?!
Saya menyerukan kepada para pemilik toko ini. Orang yang ingin membeli akan datang, mengapa Anda berpura-pura untuk merayakan sebuah agama yang bukan milik Anda, ketika mereka mencegah kita dari melakukan ritual kita? Mereka mencegah kita dari membangun kubah masjid yang indah, yang dianggap sebagai bagian dari arsitektur yang indah, terlepas dari aspek agama.
Saudara-saudara,
Saya ingin menyampaikan pesan, dan memperingatkan umat Islam bahwa hal ini— adalah dilarang, memalukan, dan tidak pantas. Ini menunjukkan kebodohan dan ketidaktahuan kita tentang Islam." (sa/memri tv)

sumber ERAMUSLIM

Kamis, 24 Desember 2009

Metode Ijtihad Qardhawi ( Bagian 1 )

Qardhawi menegaskan bahwa tidak sepantasnya bagi seorang yang berilmu, yang dikaruniai berbagai fasilitas akal pikiran yang bias digunakan untuk mentarjih, yaitu memilih-milih
pendapat yang lebih relevan dan real untuk dijalankan, terikat dengan suatu madzhab tertentu, tetapi seharusnya ia wajib berpegang kepada dalil dan hujjah yang kuat dan sahih untuk
menjadi pegangannya. Seorang muslim yang baik adalah orang yang selalu berpegang kepada dalil yang benar dan hujjah yang kuat sebagai parameter untuk dipedomani guna mengetahui yang haq. Dan tidaklah layak baginya mengikuti suatu pendapat hanya karena kemasyhurannya dan banyak pengikutnya.

Menurut Qardhawi ada dua pola pikir yang harus dijauhkan dari masyarakat, baik masyarakat awam maupun cendekiawan dan ulama. (Al Qardhawi- Fatawa Muasirah)

Pemikiran Fiqh Qardhawi

Dalam bidang fikih, Qardhawi telah berhasil membuat sebuah formulasi dalam pemberlakuan fikih, terutama ketika dalam menghadapi persoalan-persoalan kontemporer. Diantara
formula yang dibangunnya adalah mengenai perlunya dibangun sebuah fikih baru (fiqh jadid) antara lain:

1. Fiqh al-Muwazanah (fikih keseimbangan), yakni sebuah metode yang dilakukan dalam mengambil keputusan hukum, pada saat terjadinya pertentangan dilematis
antara maslahat dan mafsadat, atau antara kebaikan dan keburukan. Menurutnya, sebuah kemudaratan kecil boleh dilakukan untuk mendapatkan kemaslahatan yang lebih
besar, atau kerusakan temporer boleh dilakukan untuk mempertahankan kemaslahatan yang kekal, bahkan kerusakan besar pun dapat dipertahankan jika dengan menghilangkannya akan menimbulkan kerusakan yang lebih besar.

Qardhawi : Banyak Fatwa saya Sembunyikan

Doha, Ulama Islam terkemuka Syaikh Dr. Yusuf al-Qardhawi menyatakan jika dirinya menyembunyikan beberapa fatwa seputar isu-isu kontemporer (qadhaya mu'ashirah). Hal ini untuk menghindari kesalahafahaman dan penyalahgunaan serta timbulnya waswas dikalangan awam.
Al-Qardhawi menjelaskan hal tersebut saat memberikan materi pada Seminar Peringatan Wafatnya Ulama Qatar terkemuka Syaikh Abdullah ibn Zayid Ali Mahmud yang digelar oleh Kementrian Wakaf Qatar pada Kamis (23/4) kemarin.
"Banyak ulama yang sengaja menyimpan dan menyembunyikan ijtihad dan fatwa mereka yang tidak sejalur dengan pendapat atau ijtihad umum. Hal ini mereka lakukan untuk kemaslahatan umat yang awam," ungkap al-Qardhawi.
Ketua Persatuan Internasional Ulama Muslim (al-Ittihad al-Alami li Ulama al-Muslimin) itu mengaku, dirinya juga melakukan hal demikian.

Rabu, 23 Desember 2009

Qardhawi bicara Poligami

Orang-orang Kristen dan Orientalis menjadikan tema poligami ini seakan merupakan syi’ar dari syi’ar-syi’ar Islam, atau salah satu perkara yang wajib, atau minimal sunnah untuk dilaksanakan. Yang demikian ini tidak benar alias penyesatan, karena dalam praktek pada umumnya seorang Muslim itu menikah dengan satu isteri yang menjadi penentram dan penghibur hatinya, pendidik dalam rumah tangganya dan tempat untuk menumpahkan isi hatinya. Dengan demikian terciptalah suasana tenang, mawaddah dan rahmah, yang merupakan sendi-sendi kehidupan suami isteri menurut pandangan Al Qur’an.

Oleh karena itu ulama mengatakan, “Dimakruhkan bagi orang yang mempunyai satu isteri yang mampu memelihara dan mencukupi kebutuhannya, lalu dia menikah lagi. Karena hal itu membuka peluang bagi dirinya untuk melakukan sesuatu yang haram. Allah berfirman:

    “Dan kamu sekali-kali ridak akan dapat berlaku adil di antara isteri-isteri (mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian, karena itu janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai), sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung..” (An-Nisa’: 129)

Rasulullah SAW bersabda:

    “Barangsiapa yang mempunnyai dua isteri, kemudian lebih mencintai kepada salah satu di antara keduanya maka ia datang pada hari kiamat sedangkan tubuhnya miring sebelah. ” (HR. Al Khamsah)

Adapun orang yang lemah (tidak mampu) untuk mencari nafkah kepada isterinya yang kedua atau khawatir dirinya tidak bisa berlaku adil di antara kedua isterinya, maka haram baginya untuk menikah lagi, Allah SWT berfirman,

    “Jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja…” (An-Nisa’: 3)

Apabila yang utama di dalam masalah pernikahan adalah cukup dengan satu isteri karena menjaga ketergelinciran, dan karena takut dari kepayahan di dunia dan siksaan di akhirat, maka sesungguhnya di sana ada pertimbangan-pertimbangan yang manusiawi, baik secara individu ataupun dalam skala masyarakat sebagaimana yang kami jelaskan. Islam memperbolehkan bagi seorang Muslim untuk menikah lebih dari satu (berpoligami), karena Islam adalah agama yang sesuai dengan fithrah yang bersih, dan memberikan penyelesaian yang realistis dan baik tanpa harus lari dari permasalahan.

Poligami pada Ummat Masa Lalu dan Pada Zaman Islam

Sebagian orang berbicara tentang poligami, seakan-akan Islam merupakan yang pertama kali mensyari’atkan itu. Ini adalah suatu kebodohan dari mereka atau pura-pura tidak tahu tentang sejarah. Sesungguhnya banyak dari ummat dan agama-agama sebelum Islam yang memperbolehkan menikah dengan lebih dari satu wanita, bahkan mencapai berpulah-puluh orang atau lebih, tak ada persyaratan dan tanpa ikatan apa pun.

Di dalam Injil Perjanjian Lama diceritakan bahwa Nabi Dawud mempunyai isteri tiga ratus orang, dan Nabi Sulaiman mempunyai tujuh ratus orang isteri.

Ketika Islam datang, maka dia meletakkan beberapa persyaratan untuk bolehnya berpoligami, antara lain dari segi jumlah adalah maksimal empat. Sehingga ketika Ghailan bin Salamah masuk Islam sedang ia memiliki sepuluh isteri, maka Nabi SAW bersabda kepadanya, “Pilihlah dari sepuluh itu empat dan ceraikanlah sisanya.” Demikian juga berlaku pada orang yang masuk Islam yang isterinya delapan atau lima, maka Nabi SAW juga memerintahkan kepadanya untuk menahan empat saja.

Adapun pernikahan Rasulullah SAW dengan sembilan wanita ini merupakan kekhususan yang Allah berikan kepadanya, karena kebutuhan dakwah ketika hidupnya dan kebutuhan ummat terhadap mereka setelah beliau wafat, dan sebagian besar dari usia hidupnya bersama satu isteri.

Adil Merupakan Syarat Poligami

Adapun syarat yang diletakkan oleh Islam untuk bolehnya berpoligami adalah kepercayaan seorang Muslim pada dirinya untuk bisa berlaku adil di antara para isterinya, dalam masalah makan, minum, berpakaian, tempat tinggal, menginap dan nafkah. Maka barangsiapa yang tidak yakin terhadap dirinya atau kemampuannya untuk memenuhi hak-hak tersebut dengan adil, maka diharamkan baginya untuk menikah lebih dari satu. Allah berfirman:

    “Jika kamu takut berlaku tidak adil maka cukuplah satu isteri” (An-Nisa’:3)

Kecenderungan yang diperingatkan di dalam hadits ini adalah penyimpangan terhadap hak-hak isteri, bukan adil dalam arti kecenderungan hati, karena hal itu termasuk keadilan yang tidak mungkin dimiliki manusia dan dimaafkan oleh Allah.

Allah SWT berfirman:

    “Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara isteri-isten(mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian, karena itu janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai), sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung.” (An-Nisa’: 129)

Oleh karena itu, Rasulullah SAW menggilir isterinya dengan adil, beliau selalu berdoa, “Ya Allah inilah penggiliranku (pembagianku) sesuai dengan kemampuanku, maka janganlah Engkau mencelaku terhadap apa-apa yang Engkau miliki dan yang tidak saya miliki.” Maksud dari doa ini adalah kemampuan untuk bersikap adil di dalam kecenderungan hati kepada salah seorang isteri Nabi.

Rasulullah SAW apabila hendak bepergian membuat undian untuk isterinya, mana yang bagiannya keluar itulah yang pergi bersama beliau. Beliau melakukan itu untuk menghindari keresahan hati isteri-isterinya dan untuk memperoleh kepuasan mereka.

Hikmah Diperbolehkannya Poligami


Sesungguhnya Islam adalah risalah terakhir yang datang dengan syari’at yang bersifat umum dan abadi. Yang berlaku sepanjang masa, untuk seluruh manusia.

Sesungguhnya Islam tidak membuat aturan untuk orang yang tinggal di kota sementara melupakan orang yang tinggal di desa, tidak pula untuk masyarakat yang tinggal di iklim yang dingin, sementara melupakan masyarakat yang tinggal di iklim yang panas. Islam tidak pula membuat aturan untuk masa tertentu, sementara mengabaikan masa-masa dan generasi yang lainnya. Sesungguhnya ia memperhatikan kepentingan individu dan masyarakat.

Ada manusia yang kuat keinginannya untuk mempunyai keturunan, akan tetapi ia dikaruniai rezki isteri yang tidak beranak (mandul) karena sakit atau sebab lainnya. Apakah tidak lebih mulia bagi seorang isteri dan lebih utama bagi suami untuk menikah lagi dengan orang yang disenangi untuk memperoleh keinginan tersebut dengan tetap memelihara isteri yang pertama dan memenuhi hak-haknya.

Ada juga di antara kaum lelaki yang kuat keinginannya dan kuat syahwatnya, akan tetapi ia dikaruniai isteri yang dingin keinginannya terhadap laki-laki karena sakit atau masa haidnya terlalu lama dan sebab-sebab lainnya. Sementara lelaki itu tidak tahan dalam waktu lama tanpa wanita. Apakah tidak sebaiknya diperbolehkan untuk menikah dengan wanita yang halal daripada harus berkencan dengan sahabatnya atau daripada harus mencerai yang pertama.

Selain itu jumlah wanita terbukti lebih banyak daripada jumlah pria, terutama setelah terjadi peperangan yang memakan banyak korban dari kaum laki-laki dan para pemuda. Maka di sinilah letak kemaslahatan sosial dan kemaslahatan bagi kaum wanita itu sendiri. Yaitu untuk menjadi bersaudara dalam naungan sebuah rumah tangga, daripada usianya habis tanpa merasakan hidup berumah tangga, merasakan ketentraman, cinta kasih dan pemeliharaan, serta nikmatnya menjadi seorang ibu. Karena panggilan fithrah di tengah-tengah kehidupan berumah tangga selalu mengajak ke arah itu.

Sesungguhnya ini adalah salah satu dari tiga pilihan yang terpampang di hadapan para wanita yang jumlahnya lebih besar daripada jumlah kaum laki-laki. Tiga pilihan itu adalah:

1. Menghabiskan usianya dalam kepahitan karena tidak pernah merasakan kehidupan berkeluarga dan menjadi ibu.

2. Menjadi bebas (melacur, untuk menjadi umpan dan permainan kaum laki-laki yang rusak. Muncullah pergaulan bebas yang mengakibatkan banyaknya anak-anak haram, anak-anak temuan yang kehilangan hak-hak secara materi dan moral, sehingga menjadi beban sosial bagi masyarakat.

3. Dinikahi secara baik-baik oleh lelaki yang mampu untuk memberikan nafkah dan mampu memelihara dirinya, sebagai istri kedua, ketiga atau keempat.

Tidak diragukan bahwa cara yang ketiga inilah yang adil dan paling baik serta merupakan obat yang mujarab. Inilah hukum Islam. Allah berfirman:

“Dan hukum siapakah yang lehih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin.” (Al Maidah: 5O)

Poligami Merupakan Sistem yang Bermoral dan Manusiawi

Sesungguhnya sistem poligami yang diatur dalam Islam adalah sistem yang bermoral dan manusiawi. Manusiawi, karena Islam tidak memperbolehkan bagi laki-laki untuk berhubungan dengan wanita yang ia sukai di luar pernikahan. Dan sesungguhnya tidak boleh baginya untuk berhubungan dengan lebih dari tiga wanita selain isterinya. Tidak boleh baginya berhubungan dengan satu dari tiga tersebut secara rahasia, tetapi harus melalui aqad dan mengumumkannya, meskipun dalam jumlah yang terbatas. Bahkan harus diketahui juga oleh para wali perempuan tentang hubungan yang syar’i ini, dan mereka menyetujui atau mereka tidak menentangnya. Harus juga dicatat menurut catatan resmi di kantor yang tersedia untuk aqad nikah, kemudian disunnahkan mengadakan walimah bagi laki-laki dengan mengundang kawan-kawannya serta dibunyikan rebana atau musik sebagai ungkapan gembira.

Poligami merupakan sistem yang manusiawi, karena ia dapat meringankan beban masyarakat yaitu dengan melindungi wanita yang tidak bersuami dan menempatkannya ke shaf para isteri yang terpelihara dan terjaga.

Selain itu poligami dapat menghasilkan mahar, perkakas rumah dan nafkah. Keberadaannya juga dapat memberi manfaat sosial yaitu terbinanya bidang kemasyarakatan yang memberi produktivitas bagi ummat keturunan yang bekerja.

Anak-anak yang dilahirkan dari hasil poligami yang kemudian hidup di masyarakat sebagai hasil jalinan cinta yang mulia sangat dibanggakan oleh seorang ayah. Demikian juga oleh ummatnya di masa yang akan datang.

Sesungguhnya sistem poligami sebagaimana yang dikatakan oleh Doktor Musthafa As-Siba’i -rahimahullah– memberi kesempatan kepada manusia untuk menyalurkan syahwatnya dengan sah dalam batas tertentu, tetapi beban, kepayahan dan tanggung jawabnya tidak terbatas.

Maka yang demikian itu, sekali lagi, merupakan sistem yang bermoral yang memelihara akhlaq, dan sistem yang manusiawi yang memuliakan manusia.

Poligami Orang-orang Barat Tidak Bermoral dan Tidak Manusiawi

Bagaimana dengan konsep poligami yang ada pada realitas kehidupan orang-orang Barat, yang ditentang oleh salah satu penulis dari kalangan mereka? Ada seseorang yang ketika berada di ambang kematian, dia mengungkapkan pengakuannya kepada dukun. Penulis itu menentang mereka jika ada salah satu di antara mereka yang tidak mau menyatakan pengakuannya bahwa ia pernah menjalin hubungan dengan seorang wanita walaupun hanya sekali dalam hidupnya.

Sesungguhnya poligami di kalangan orang-orang Barat seperti yang digambarkan di atas merupakan perilaku hidup yang tidak diatur oleh undang-undang. Mereka tidak menamakan wanita yang dikumpulinya sebagai isteri, tetapi mereka menamakannya sahabat atau pacar (teman kencan). Mereka tidak membatasi hanya empat orang, tetapi sampai batas yang tak terhitung. Mereka tidak berterus-terang kepada keluarganya, tetapi melakukan semuanya secara sembunyi-sembunyi. Mereka tidak mau bertanggung jawab atas biaya untuk para wanita yang pernah dijalininya, bahkan seringkali mengotori kehormatannya, kemudian ia tinggalkan dalam kehinaan dan memikul beban sakitnya mengandung dan melahirkan yang tidak halal.

Sesungguhnya mereka tidak mengharuskan pelaku poligami untuk mengakui anak yang diperoleh dari hubungannya dengan wanita, tetapi anak-anak itu dianggap anak haram yang menanggung sendiri kehinaan selama hidup.

lnilah praktek poligami yang mereka namakan sah secara hukum. Dan mereka tidak mau menamakan ini semua dengan istilah poligami. Praktek seperti ini jauh dari perilaku moral atau kesadaran hati atau perasaan manusiawi.

Sesungguhnya itu merupakan poligami yang memperturutkan syahwat dan egoisme dan membuat orang lari dari segala tanggung jawab. Maka dari dua sistem tersebut, sistem manakah yang paling bermoral, lebih bisa mengendalikan syahwat, lebih menghargai wanita dan yang lebih membuktikan kemajuan serta lebih baik untuk manusia?
Kesalahan dalam Pelaksanaan Poligami

Kita tidak mengingkari adanya banyak dan kaum Muslimin sendiri yang salah dalam melaksanakan keringanan hukum untuk berpoligami sebagaimana yang telah disyari’atkan oleh Allah. Kita juga melihat mereka salah dalam mempergunakan rukhsah (keringanan) tentang bolehnya cerai (talak). Dengan demikian yang salah bukan hukum Islamnya, tetapi kesalahan ada pada manusia dalam penerapannya, disebabkan kekurangfahaman mereka terhadap ajaran agama atau karena keburukan akhlaq mereka.

Kita lihat ada sebagian mereka yang berpoligami, tetapi ia tidak punya cukup kemauan untuk bersikap adil sebagaimana disyari’atkan dan disyaratkan oleh Allah dalam masalah poligami, sebagian mereka ada juga yang berpoligami, tetapi tidak mempunyai kemampuan yang cukup untuk memberi nafkah kepada isteri-isteri dan anak-anaknya sebagai wujud dari rasa tanggungjawab. Dan sebagian lagi mereka ada yang mampu untuk memberikan nafkah, tetapi dia tidak mampu untuk menjaga diri.

Kesalahan dalam menggunakan kebenaran ini seringkali menimbulkan akibat-akibat yang membahayakan keberadaan rumah tangga. Sebagai akibat dari perhatian yang lebih terhadap isteri baru dan menzhalimi isteri yang lama. Kecintaan yang berlebihan itulah yang menyebabkan ia membiarkan isteri tuanya terkatung-katung, seakan tidak lagi sebagai isteri dan tidak pula dicerai. Seringkali sikap seperti itu juga mengakibatkan anak-anak saling membenci, padahal mereka anak dari satu bapak.

Hal ini karena bapaknya tidak mampu berlaku adil di hadapan anak-anaknya, dan tidak bisa sama dalam memberi materi dan sikap.

Meskipun penyimpangan ini ada, tetapi tidak sampai pada kerusakan sebagaimana yang dialami oleh orang-orang barat, yaitu dengan melakukan pelecehan moral, sehingga poligami bukanlah menjadi problem di dalam masyarakat Islam pada umumnya, karena pernikahan dengan satu isteri sekarang ini pun menimbulkan banyak problem.
Seruan untuk Menolak Poligami

Patut disayangkan bahwa sebagian Du’at Taghrib (Westernisasi) di negara-negara Arab dan Islam memanfaatkan data dari sebagian kaum Muslimin yang melakukan penyimpangan, sehingga mereka mengangkat suara mereka (vokal) untuk menutup pintu diperbolehkannya berpoligami secara mutlak. Mereka bekerja pagi dan petang dan terus menerus mempropagandakan tentang keburukan poligami. Di saat yang sama mereka diam seperti diamnya orang yang berada di kuburan -diam seribu bahasa– terhadap keburukan zina yang mereka perbolehkan dan diperbolehkan oleh hukum internasional Barat yang berlaku juga secara defacto di negara-negara Islam saat ini.

Beberapa mass media telah berperan aktif, khususnya film-film dan sinetron berseri untuk menanamkan kebencian terhadap poligami, terutama di kalangan kaum wanita, sehingga sebagian wanita lebih rela jika suaminya jatuh dalam perbuatan dosa besar yaitu zina, daripada harus menikah lagi.

Satu Argumen dari Kaum Anti Poligami

Mereka benar-benar telah berhasil -dalam misinya- di sebagian negara-negara Arab dan Islam, berupa banyaknya pembuatan undang-undang yang mengharamkan apa yang dihalalkan oleh Allah, yaitu poligami. Mereka mengikuti undang-undang Barat dan masih ada dari mereka yang terus berupaya untuk menyebarkannya di negara-negara lainnya. celakanya lagi, dalam masalah ini mereka berusaha mengatasnamakan syari’at dan berdalil dengan dalil-dalil Al Qur’an yang diputarbalikkan

Mereka beralasan bahwa di antara hak seorang walliyul amri (pemerintah) adalah melarang sebagian hal-hal yang diperbolehkan demi untuk memperoleh kemaslahatan atau menghindarkan kerusakan. Bahkan sebagian mereka ada yang terlalu berani untuk berdalil dengan Al Qur’an atas pendapatnya. Mereka mengatakan, “Sesungguhnya Al Qur’an mensyaratkan bagi orang yang ingin menikah lebih dari satu untuk memastikan bahwa dirinya akan mampu bersikap adil di antara para isterinya. Sehingga bagi siapa saja yang takut tidak bisa adil maka cukup dengan satu isteri, sesuai dengan firman Allah SWT:

    “Jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja…” (An-Nisa’: 3)

lnilah syarat yang dijelaskan oleh Al Qur’an dalam masalah poligami, yakni adil. Tetapi Al Qur’an, menurut anggapan mereka, juga menjelaskan dalam surat yang sama bahwa adil yang disyaratkan di sini tidak mungkin bisa dipenuhi dan tidak mungkin bisa dilakukan. Itulah firman Allah SWT:

    “Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara isteri-isteri(mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian karena itu janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai), sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung …”(An-Nisa’: 129)

Dengan demikian (kesimpulan mereka) bahwa ayat ini menafikan apa yang sudah ditetapkan oleh ayat tersebut di atas.

Yang benar bahwa sesungguhnya kesimpulan di atas semuanya tidak benar, dan tidak berdasarkan kritik ilmiyah yang benar, dan akan kami jelaskan satu demi satu.
Syari’at Tidak Membolehkan Apa Saja yang Mengandung Mafsadah Rajih (Keburukan yang Nyata)

Adapun pendapat yang mengatakan bahwa poligami itu menimbulkan kerusakan-kerusakan den bahaya-bahaya dalam rumah tangga dan masyarakat, ini merupakan suatu perkataan yang memuat kesalahan yang nyata.

Kita katakan kepada mereka bahwa syari’at Islam itu tidak mungkin menghalalkan atas manusia sesuatu yang membahayakan mereka, sebagaimana tidak mengharamkan kepada mereka sesuatu yang berguna bagi mereka Bahkan suatu ketetapan yang ada pada nash dan penelitian bahwa syari’at Islam itu tidak menghalalkan kecuali yang baik dan bermanfaat, dan tidak mengharamkan kecuali yang kotor dan berbahaya. Inilah yang digambarkan oleh Al Qur’an dengan kata-kata yang mantap dan singkat dalam menyebutkan sifat Rasulullah SAW Allah berfirman:

    .” . . Yang menyuruh mereka mengerjakan yang ma’ruf dan melarang mereka dari mengerjakan yang mungkar dan menghalalkan bagi yang mereka segala yang baik dan menghararnkan bagi mereka segala yang buruk dan membuang dari mereka beban-beban dan belenggu-belenggu yang ada pada mereka…” (Al A’raf:157)

Segala sesuatu yang diperbolehkan oleh syari’at Islam pasti bernilai manfaat yang murni dan segala sesuatu yang diharamkan oleh syari’at Islam pasti bernilai madharat murni atau yang lebih kuat, ini jelas sebagaimana disebutkan oleh Al Qur’an tentang khamr dan perjudian:

    “Mereka bertanya kepadamu tentang khamr dan judi. Katakanlah, “Pada keduanya itu terdapat dosa besar dan beberapa manfaat bagi manusia tetapi dosa keduanya lebih besar dari manfantnya. . .” (Al Baqarah: 219)

Inilah yang dipelihara oleh syari’at dalam masalah poligami, sungguh Islam telah menimbang antara faktor kemaslahatan dan mufsadah, antara manfaat dan bahaya, sehingga akhirnya memperbolehkan untuk berpoligami bagi orang yang membutuhkan dan memberikan syarat kepadanya bahwa ia mampu untuk memelihara keadilan, dan takut untuk berbuat penyelewengan dan kecenderungan yang tidak sehat. Allah SWT berfirman,

    “Jika kamu takut tidak bisa berbuat adil maka (nikahilah) satu isteri.” (An-Nisa’: 3)

Apabila kemaslahatan isteri yang pertama itu tetap dalam kesendiriannya dalam mahligai rumah tangga, tanpa ada yang menyainginya, dan dia melihat akan mendatangkan malapetaka jika tidak ada isteri yang kedua, maka merupakan kemaslahatan bagi suami untuk menikah lagi yang dapat memelihara dirinya dari perbuatan haram atau akan melahirkan seorang anak yang diharapkan dan karena sebab yang lainnya. Termasuk juga kemaslaharan isteri kedua adalah bahwa ia mempunyai seorang suami di mana ia dapat hidup di bawah naungannya dan hidup dalam tanggungannya, daripada ia hidup menyendiri sebatang kara atau menjanda.

Juga merupakan kemaslahatan masyarakat jika masyarakat itu memelihara orang-orangnya, menutupi aurat anak-anak gadisnya, di antaranya dengan pernikahan halal di mana masing-masing lelaki dan wanita saling menanggung beban tanggungjawab terhadap dirinya, isterinya dan anak-anaknya. Daripada harus menganut free sex gaya Barat yang anti poligami model Islam, sementara mereka memperbolehkan banyak teman kencan yang merupakan poligami amoral dan tidak manusiawi karena masing-masing dari kedua belah pihak menikmati hubungan tanpa ada beban, dan seandainya hadir seorang anak dari hubungan kotor ini maka itu merupakan tumbuhan syetan, tanpa ada bapak yang merawatnya dan tanpa keluarga yang menyayanginya serta tanpa nasab yang ia banggakan. Maka manakah bahaya besar yang harus dijauhi?

Selain itu isteri pertama juga dilindungi hak-haknya oleh syari’at dalam masalah persamaan hak antara dia dengan isteri yang lainnya di dalam persoalan nafkah, tempat tinggal, pakaian dan menginap. Inilah keadilan yang disyaratkan di dalam poligami.

Benar bahwa sesungguhnya sebagian suami kurang memperhatikan masalah keadilan yang telah diwajibkan atas mereka, akan tetapi kesalahan orang perorang dalam pelaksanaan bukan berarti pembatalan prinsip (hukum) dasarnya. Karena jika prinsip ini tidak diterima karena hal tersebut, maka syari’at Islam akan terhapus secara keseluruhan. Untuk itu dibuatlah standardisasi yang harus dilakukan.

Wewenang Waliyul Amri untuk Melarang Hal-hal yang diperbolehkan

Adapun sesuatu yang dikatakan oleh mereka bahwa ada hak atau wewenang pemerintah untuk mencegah hal-hal yang diperbolehkan, maka kita katakan, “Sesungguhnya hak (wewenang) yang diberikan oleh syari’at kepada waliyyul amri (pemerintah) adalah hak membatasi sebagian hal-hal yang mubah karena kemaslahatan yang lebih mantap di dalam sebagian waktu dan keadaan atau berlaku kepada sebagian orang. Dan bukan melarang secara mutlak dan selamanya, karena larangan secara mutlak –dan selamanya–itu mirip dengan “mengharamkan” yang merupakan hak dan wewenang mutlak Allah SWT. Inilah yang diingkari oleh Al Qur’an dari orang-orang ahli kitab, yaitu:

    .”.. mereka menjadikan orang-orang alim dan rahib-rahib mereka sebagai tuhan selain Allah.” (At Taubah: 31)

Ada suatu hadits yang menafsirkan ayat tersebut, “Sesungguhnya mereka (para rahib) itu telah menghalalkan dan mengharamkan sesuatu atas kaum Ahlul Kitab, maka kaum itu mengikuti mereka (para rahib).” Sesungguhnya pembatasan terhadap yang mubah (hukum yang diperbolehkan), seperti melarang menyembelih hewan pada hari-hari rertentu, karena untuk memperkecil pemakaian, sebagaimana pernah terjadi di masa Umar RA Seperti juga melarang menanam tanaman tertentu yang telah over produksi seperti kapas di Mesir, sehingga tidak boleh secara leluasa menanamnya melebihi biji-bijian (palawija) sebagai makanan pokok.

Seperti juga melarang para jendral atau para diplomat untuk menikah dengan wanita asing, karena takut terbongkarnya rahasia negara melalui wanita tersebut ke pihak lawan (negara lain).

Seperti juga melarang menikah dengan wanita-wanita Ahlul Kitab apabila dikhawatirkan akan membahayakan bagi para gadis Muslimah. Demikian itu di masyarakat minoritas Islam yang relatif kecil dan terbatas penduduknya.

Adapun kita, kita mendatangkan sesuatu yang dihalalkan oleh Allah SWT dan yang telah diizinkan secara nyata, baik oleh Al Qur’an maupun Sunnah Nabi-Nya dan dikuatkan oleh kesepakatan ummat, seperti talak dan poligami. Maka melarangnya secara mutlak dan selamanya, hal itu tidak termasuk pembatasan hal yang mubah seperti contoh-contoh yang kita kemukakan di atas.

Makna “Kamu tidak Akan Mampu Berbuat Adil diantara Isterimu”

Adapun berdalil dengan Al Qur’an Al Karim seperti ayat tersebut, itu merupakan pengambilan dalil yang tidak tepat dan ditolak serta tahrif (terjadi penyimpangan) terhadap ayat dari makna yang sebenarnya. Ini termasuk penuduhan buruk terhadap Nabi SAW dan para sahabatnya RA, bahwa mereka tidak memahami Al Qur’an atau mereka memahaminya tetapi mereka menentangnya secara sengaja.

Ayat yang dijadikan sebagai dalil inilah yang akhirnya membantah mereka sendiri, kalau saja mereka mau merenungkan. Karena Allah SWT telah mengizinkan untuk berpoligami dengan syarat harus yakin dapat berbuat adil. Kemudian Allah menjelaskan keadilan yang dituntut dalam surat yang sama, sebagaimana firman-Nya:

    “Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara isteri-isteri (mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian, karena itu janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai), sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung …” (An-Nisa’: 129)

Ayat ini menjelaskan bahwa sesungguhnya adil yang mutlak dan sempurna terhadap para isteri itu tidak bisa dilakukan oleh manusia, sesuai dengan tabiat (watak) mereka. Karena adil yang sempurna itu menuntut sikap yang sama dalam segala sesuatu, sampai masalah kecenderungan hati dan keinginan seks. Ini sesuatu yang tidak mungkin ada pada manusia. Ia pasti mencintai salah satunya lebih dari yang lainnya dan cenderung kepada yang satu lebih dari yang lainnya. Karena hati itu berada dalam tangan Allah, dan Allah senantiasa merubah-rubah sesuai dengan kehendak-Nya.

Oleh karena itu Nabi SAW berdoa setelah menggilir isteri-isterinya dalam masalah urusan zhahir seperti nafkah, pakaian dan menginap (bermalam) dengan doa beliau, “Ya Allah inilah pembagianku sesuai dengan apa yang aku miliki, maka janganlah Engkau murka kepadaku terhadap apa yang Engkau miliki dan aku tidak memilikinya .. . (yaitu hati).”

Oleh karena itu Al Qur’an mengatakan setelah firman Allah tersebut (”Dan kamu sekali-kali tidak akan mampu untuk berbuat adil di antara isterimu, walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian”) dengan firman-Nya, .”..karena itu janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai), sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung.” Maksud dari ayat ini adalah bahwa sebagian kelebihan dalam masalah cinta itu dimaafkan, itulah kecenderungan perasaan.

Yang sangat diherankan adalah bahwa sebagian negara Arab Islam ikut mengharamkan poligami, sementara mereka pada saat yang sama tidak mengharamkan zina, padahal Allah SWT berfirman:

    “Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk.” (Al Isra’: 32)

Saya pernah mendengar dari Syaikh Imam Abdul Halim Mahmud –rahimahullah–bahwa ada seorang Muslim di negara Arab Afrika yang menikah secara rahasia dengan wanita kedua setelah isterinya yang pertama, dan ia melaksanakan aqad secara syar’i yang memenuhi syarat. Akan tetapi ia tidak disahkan oleh hukum yang berlaku di negaranya, bahkan dianggap sebagai pelanggaran hukum, sehingga membuat ia kebingungan ke sana ke mari. Akhirnya diketahui oleh polisi intelijen bahwa wanita itu istrinya, dan ia dijera pasal karena dianggap telah melakukan pelanggaran hukum.

Pada suatu malam ia ditangkap di rumah wanita itu dan dibawa ke pengadilan untuk diverbal karena dituduh menikah dengan isteri yang kedua.

Tetapi orang itu cerdik, maka ia katakan kepada para hakim, Siapa yang mengatakan kepadamu bahwa itu isteri saya? Sebenarnya ia bukan isteriku, akan tetapi pacarku yang aku jadikan kekasihku yang aku kunjungi sewaktu-waktu.”

Di sinilah para hakim terkejut dan mengatakan dengan sopan, “Kami mohon maaf yang sebesar-besarnya karena kesalahfahaman kami yang terjadi, kami mengira ia isterimu, dan kami tidak tahu kalau ia sebagai sahabat saja.”

Akhirnya mereka melepaskan kembali orang itu, karena bersahabat dengan wanita dalam keharaman dan menjadikannya sebagai kekasih itu termasuk kebebasan pribadi yang dilindungi oleh undang-undang.

sumber : RAFI

Kritikan dan Hujatan pada Qardhawi

Segala puji hanya milik Allah, Rabb semesta alam. Shalawat dan salam semoga dicurahkan kepada Rasulullah. Wa ba’du :
Sesungguhnya bencana yang tengah menimpa umat dewasa ini adalah menjamurnya kelompok-kelompok orang yang berani memanipulasi (memalsukan) “selendang ilmu” dengan mengubah bentuk syari’at Islam dengan istilah “tajdidi” (pembaharuan), mempermudah sarana-sarana kerusakan dengan istilah “fiqih taysiir” (fiqih penyederahanaan masalah), membuka pintu-pintu kehinaan dengan kedok “ijtihad” (upaya keras untuk mengambil konklusi hukum Islam), melecehkan sederet sunnah-sunnah Nabi dengan kedok “fiqih awlawiyyat” (fiqih prioritas), dan berloyalitas (menjalin hubungan setia) dengan orang-orang kafir dengan alasan “memperindah corak (penampilan) Islam”. .
Tokoh yang menjadi pentolannya adalah seorang tukang fatwa lewat parabola, Yusuf Qardhawi, yang berusaha keras menyebarkan gagasan-gagasan pemikiran di atas lewat tayangan-tayangan parabola, jaringan-jaringan internet, konfrensi-konfrensi, studi-studi keislaman, ceramah-ceramah, dan lain-lain.

Mereka bicara tentang Qardhawi

Banyak para tokoh dan ulama Islam yang mempunyai kesan khusus dengan Dr. Yusuf Qardhawi, diantaranya adalah sebagai berikut :

Hasan al Banna : "Sesungguhnya ia adalah seorang penyair yang jempolan dan berbakat"

Imam Kabir Samahatus Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Bazz - Mantan mufti kerajaan Saudi dan ketua Hai'ah Kibarul Ulama berkata: "Buku-bukunya memiliki bobot ilmiah dan sangat berpengaruh di dunia Islam."

Imam al Muhaddits Muhammad Nashiruddin al Albani - Ahli hadis terkemuka abad 20 berkata, "Saya diminta (al Qaradhawy) untuk meneliti riwayat hadis serta menjelaskan kesahihan dan ke dha'ifan hadis yang terdapat dalam bukunya (Halal wal Haram). Hal itu menunjukkan ia memiliki akhlak yang mulia dan pribadi yang baik. Saya mengetahui semua secara langsung. Setiap dia bertemu saya dalam satu kesempatan, ia akan selalu menanyakan kepada saya tentang hadis atau masalah fiqh. Dia melakukan itu agar ia mengetahui pendapat saya mengenai masalah itu dan ia dapat mengambil manfaat dari pendapat saya tersebut. Itu semua menunjukkan kerendahan hatinya yang sangat tinggi serta kesopanan dan adab yang tiada tara. Semoga Allah SWT mendatangkan manfaat dengan keberadaannya." Mengapapa pengikut ke-2 syaikh itu tidak mengambil manfaat dari kesaksian mereka?

Ulama Progressif yang Kontroversial

Di berbagai negara di dunia, nama Dr Yusuf Qardhawi (ada yang menulisnya
dengan Yusuf Qaradhawi), sangat populer. Qardhawi dikenal sebagai ulama yang
berani dan kritis. Pandangannya sangat luas dan tajam. Karena itu, banyak
pihak yang merasa 'gerah' dengan berbagai pemikirannya yang seringkali
dianggap menyudutkan pihak tertentu, termasuk pemerintah Mesir. Akibat
pandangan-pandangannya itu pula, tak jarang pria kelahiran Shafth Turaab,
Mesir pada 9 September 1926 ini harus mendekam dibalik jeruji besi. Namun
demikian, ia tak pernah berhenti menyuarakan dan menyampaikan pandangannya,
dalam membuka cakrawala umat.

Qaradhawi siap kawal Film Nabi

DOHA--Film internasional tentang sejarah kehidupan Nabi Muhammad SAW sedang dirilis oleh perusahaan media di Qatar. Rencana pembuatan film ini terkait dengan upaya baru untuk menghapus stereotip yang beredar luas tentang Islam di Barat.

"Film ini akan menyoroti kehidupan Nabi sejak sebelum lahir sampai wafat beliau," ungkap Ahmad Abdullah Al-Mustafa, ketua Alnoor Holdings, Al-Jazeera TV, seperti dikutip Islamonline, Ahad (1/11).

Alnoor Holdings didirikan tahun ini untuk memanfaatkan peluang ekonomi dalam industri hiburan, berfokus pada produksi film internasional, produksi arab, dan animasi.

Pembuatan film yang akan menghabiskan biaya sekitar $150 juta atau sekitar Rp1,5 triliun ini rencananya akan dimulai pada tahun 2011. "Film itu diperkirakan akan memakan waktu antara 25 sampai 30 bulan," ujar Abdullah.

Qaradhawi meraih Hijrah Award dari Malaysia

www.republika.co.id - DOHA--Cendikiawan Muslim terkemuka, Syekh Yusuf Al-Qardhawi, presiden dari Persatuan Ulama Muslim Dunia (IUMS), Selasa (15/12), kemarin, memenangkan penghargaan bergengsi Malaysia "Hijrah Nabi". Penghargaan tersebut akan diberikan kepada Qardhawi oleh Raja Malaysia, Mizan Zainal Abidin, dalam sebuah upacara pada tahun baru Hijriyah, tanggal 1 Muharram yang jatuh pada Jumat (18/12) mendatang.
Qardhawi dijadwalkan akan menyampaikan pidato dalam acara, yang akan dihadiri oleh menteri-menteri, negarawan dan tokoh masyarakat itu, dengan tema misi Nabi Muhammad SAW. Ulama terkemuka itu juga akan memberikan serangkaian kuliah dan bertemu dengan anggota Dewan Mufti Nasional serta intelektual Malaysia.
Penghargaan diberikan sebagai pengakuan atas keilmuan Qardhawi yang luas serta kontribusi tanpa pamrihnya dalam melayani Islam dan umatnya, juga terhadap upayanya dalam perkembangan budaya Islam untuk kepentingan umat.

Pembukaan Qardhawi Center untuk penyebaran Islam moderat

Pascaperistiwa 11 September 2001, Islam menghadapi tantangan yang begitu berat. Stereotip Islam sebagai agama yang mengajarkan kekerasan tumbuh begitu subur di dunia Barat. Guna mematahkan stereotip itu, di Doha, Qatar, telah berdiri sebuah pusat keislaman yang berupaya memperkenalkan ajaran Islam yang toleran dan penuh kedamaian kepada dunia Barat.

Pusat keislaman itu bernama Qardhawi Center--menggunakan nama ulama terkemuka di dunia--Syekh Yusuf Al-Qardhawi. Bagi umat Islam, nama Syekh Qardhawi begitu familier. Ia adalah presiden Persatuan Ulama Muslim Internasional. Qardhawi Center secara resmi mulai berkiprah sejak 6 September 2009 lalu.
''Alasan utama pendirian Qardhawi Center ini karena kita telah terganggu oleh bahaya ekstremisme dan pencemaran nama baik Islam,'' ujar Muhammad Ahmad, direktur Qardhawi Center for Islamic Moderation and Renewal. Menurut Ahmad, stigma buruk terhadap Islam tak hanya terjadi di dunia Barat, tapi di seluruh penjuru dunia.

Wanita dalam Fiqh Qaradhawi ( sekilas info buku)

Wanita merupakan tema paling menarik dan paling besar pengaruhnya bagi
kehidupan. Hal ini karena dalam sepanjang sejarah perjalanan manusia, wanita
memiliki peranan sangat besar dalam keluarga, masyarakat, dan negara. Tidak
mungkin keluarga, masyarakat, dan negara Itu baik, jika wanitanya buruk.
Buku ini mengintisarikan pemikiran dan gagasan besar Dr Yusuf AI-Qaradhawi —
seorang ulama besar yang tegas tapi moderat dan komprehensif dalam membahas
setiap persoalan umat — tentang wanita, yang berserakan dalam berbagai buku,
ceramah, khutbah, fatwa, tesis, dan disertasinya.

Qardhawi dan Ikhwan ( Resensi Buku Ana wal Ikhwan Muslimun)

Siapa yang tidak mengenal sosok Dr. Yusuf Qardhawi ? ulama yang begitu luas ilmunya, yang senanatiasa mengorbankan jiwa dan raganya untuk menegakkan ajaran Islam. Beliau adalah ulama terpandang yang telah banyak melahirkan banyak karya bagi ummat ini.

Buku ini dibuka dengan catatan dari penerjemah (M. Lili Nur Aulia), yang memaparkan alasan tentang penulisan buku ini. Sejujurya, beliau tidak menginginkan ada tulisan tentang Biografi beliau. Berbicara mengenai Dr. Yusuf Q, tidak akan pernah lepas dari kehidupan Dakwahnya bersama Ikhwan. Kerendahan hati, dan ketinggian iman yang dimiliki Beliau, membuat beliau takut jika buku ini membuat beliau membaguskan diri sendiri (karena ditulis langsung oleh beliau), mengagungkan-agungkan atau menghiasi diri sendiri di mata pembacanya (Lihat Q.S. An-Najm : 32). Sebuah kutipan dari ahli hikmah diambil oleh Beliau yang begitu sarat makna “Apakah kejujuran yang buruk ? Yaitu pujian dari orang terhadap dirinya sedniri”.

Namun, berkat dorongan yang kuat oleh para Ikhwan, karena meganggap kisah beliau bisa memberikan inspirasi buat para penyeru dakwah untuk terus bergerak dan menghasilkan karya dan pertemuannya dengan tokoh Ikhwan Internasional lainnya, hingga membuat beliau menuliskan kisah beliau bersama Al ikhwan Al Muslimun. Kata-kata beliau begitu dalam ketika akhirnya menuliskan kisah beliau dalam buku ini

“Mahasuci Allah yang membolak-balikkan hati, tak lama setelah itu, Allah melapangkan hatiku untuk mulai menulis. Aku memulai penulisan ini dengan memohon kepada Allah, berdasarkan apa yang massih kuingat, sementara apa-apa yang tidak benar-benar kuingat atau ragu aku lebih memilih untuk tidak menceritakannya. Ini untuk menjaga amanah, agar tulisan ini bisa objektif sedapat mungkin. Bagaimana seseorang bisa bersikap netral terhadap dirinya sendiri ? benar-benat membutuhkan orang yang mampu mengalahkan hawa nafsunya. Sementara aku sama sekali tidak mengakui telah sampai pada posisi itu. Aku hanya berusaha untuk menyampaikan yang benar, jujur, dan berusaha seimbang walaupun bicara tentang diri sendiri”

Subhanallah….

Setelah mengupas sejarah singkat Ikhwanul Muslimin, buku ini kemudian menceritakan awal mula keterlibatan Beliau dalam Jama’ah ikhwan. Kisah indah forum Halaqoh beliau yang di bina langsung oleh ulama yang mengajar di sekolah agama, namanya Syaikh Al Bahi Al-Khuli. Syaikh ini mengumpulkan orang-orang terbaik di sekolah tersebut untuk berada dalam forum halaqoh/usrah. Pertemuan mereka berlangsung setiap hari senin sebelum fajar. Setelah sholat subuh berjama’ah mereka lalu menyemai iman dalam halaqah ruhiyah. Subhanallah… membaca bagian ini seperti mengoreksi setiap pertemuan-pertemuan ikhwan yang pernah saya jalani. Sudah sehatkah ? penuh nasihatkah ? Astaghfirullah…

Bab selanjutnya, berkisah tentang perseteruan Ikhwan dan partai besar di Mesir waktu itu, Al Wafd. Kisah ini mengingatkanku pada kisah-kisah ikhwah di Indonesia. Subhanallah…. Begitu indah dan penuh rintangan jalan dakwah ini.

Kemudian, tulisan ini dilanjutkan dengan kisah pengalaman berdakwah beliau. Inilah salah stu bagian yang begitu saya sukai, selain beberapa bagian lainnya. Kisah ketika beliau berdakwah di Kfar Syah, sedangkan waktu itu beliau sedang menikmati liburan musim panas di Thanta.

Waktu itu tepat ketika bulan Ramadhan, sehingga Beliau begitu sibuk mengisi materi di banyak tempat. Karena kecintaan beliau kepada masyarakat, para ikhwah dan keinginan yang besar untuk menyebar luaskan ilmu, kemudian beliau akhirnya bertekad berangkat ke Kafr Syah, yang cukup jauh dengan hanya membawa bekal 6,5 Qirsy. Namun, ketika selesai memberikan materi disana, beliau ingin segera kembali, meskipun masyarakat menahannya dan menyuruh menunggu hingga waktu berbuka, karena ada agenda rapat dengan para ikhwan di Shafat. Sayangnya, Ikhwan di Thanta menyerahkan ongkos transportasi kepada Ikhwan di Kafr Syah, begitu juga sebaliknya. Hingga ketika beliau hendak pula, karena sifat malu Beliau yang luar biasa akhirnya beliau tidak meminta ongkos transportasi. Subhanallah…

Sesampainya di Sahlah, beliau hendak mengunjungi kerabat Ikhwan lainnya, tetapi setelah mencari rumah ikhwan tersebut disekitar Masjid, Beliau tidak menemukannya. Akhirnya karena sudah maghrib beliau berbuka dengan air di Masjid tersebut. Selesai sholat, beliau bertemu dengan Ikhwan tersebut. Namun karena rasa malu Beliau yang luar biasa akhirnya beliau tidak memberitahukan kalau belum makan semenjak puasa. Subhanallah… Bahkan, sifat pemalu ini, yang telah tumbuh semenjak kecil, membuat beliau harus pulang dengan berjalan sejauh 11 km. Saya merinding membaca kisah ini. Subhanallah… betapa ketinggian Ruhiyah Beliau telah menerobos semua kelelahan, keletihan, dan nafsu yang mendera manusia. Akhirnya, sepanjang perjalanan, beliau memberhentikan mobil yang lewat di jalanan, tidak lama kemudian beliau mendapatkan mobilnya, dan akhirnya kembali ke Shafat.

Lalu apa yang dilakukan beliau setelah tiba ?

Karena janji akan ada Rapat dengan para ikhwan, setibanya beliau di Shafat beliau langsung terlibat dalam aktivitas rapat para ikhwan. Tanpa mendahulukan makan. Subhanallah.. kecintaan beliau terhaap dakwah telah melewati semua puncak kegelisahan emosi.

ihad….

Sebuah kata yang menakutkan kah buat kita ?

Jihad.. ya Jihad…

Jalan juang yang meberikan kesempatan kepada orang-orang yang beriman untuk mendapatkan syahid. Jangan ditanya balasannya apa ? Syurga yang dialiri sungai-sungai yang indah, bidadari bermata bening, kepingan-kepingan kebahagiaan yang akan senantiasa mewarnai setiap jiwa orang-orang yang meninggal karena membela agama Allah. Subhanallah…

Sejenak, kita tengok kisah para Ikhwan yang mengorbankan dirinya ketika melakukan perlawanan terhadap kaum zionis di Palestina. Cerita yang menohok pertahanan keimanan kita, sebab ia mengganggu, mengganggu kenyamanan hidup yang selama ini kita miliki.

Dengan manis, Dr. Yusuf Qardhawi mengisahkan seorang pemuda bernama Abdul Wahhab. Kisah jihadnya yang menginspirasi. Yang akan membawa angn kita kepada makna iman di dada, takwa di jiwa, dal letupan jihad fisabilillah di raga.. Subhanallah..

Menjelang keberangkatan jihadnya. Ia mengalami dua kendala besar, kendala yang kemudian menjadikan ia seorang mujahid yang akan di kenang, kendala yang akan membuat cerita ini menjadi lebih menusuk, kendala yang akan mengusik keeping-keping hati para pemuda yang mengaku mencintai-Nya.

Pertama : Beliau adalah anak dari seorang Janda, sebagai anak tunggal yang hidup hanya dengan ibunya, tentu beliau akan mendapatkan kendala perizinan dari sang Ibu. Jelas itu berat, secara manusiawi ibu mana yang akan rela membiarkan anaknya meninggal dalam perang, ibu mana yang akan rela anak tunggalnya menjadi korban dalam perang. Tentu tidak…!!! Sulit kita temukan sosok Ibu seperti ini.

Berkat bantuan para Ikhwan, termasuk Dr. Yusuf Qardhawi. Mereka mendatangi ibunya. Sembari membawa sejuta cerita cahaya dari orang-orang yang telah berjidah sebelumnya. Bagaimana kisah para syuhada yang meninggal dalam keadaan terbaik, dalam ridho Allah swt, menjelaskan kepada ibunya, bahwa umur seseorang tidak ditentukan dengan kondisi tertentu, baik itu perang maupun dalam kondisi yang aman. Ajal tepatlah ajal, ia akan selalu datang.

Sang ibu akhirnya menyetujui niat Jihad Abdul Wahhab, sembari mengatakan “Jika ini sudah menjadi keinginan Abdul Wahhab, maka aku takkan mungkin menghalanginya. Saya serahkan masalah ini kepada Allah. Saya berdo’a kepada Allah agar ia menolongnya dan para Ikhwan di medan jihad, kemudian mengembalikan mereka selamat dengan membawa kemenangan” Subhanallah… Indah… Luar Biasa…

Namun kendala kedua menunggu : Salah satu syarat keikutsertaan ikhwan berjihad adalah tidak sedang menjadi siswa di salah satu SMA. Itu keputusan Maktab Irsyad Ikhwanul Muslimin. Mereka bisa terlibat dalam jihad, apabila mendapat ijin dari Mursyid ‘Am saat itu, Syaikh Hasan Al banna.

Alhamdulillah, berkat bantuan para ikhwan, mereka berangkat ke Kairo untuk mendapat ijin dari Mursyid ‘Am. Dan akhirnya Abdul Wahhab di Ijinkan untuk berjihad.. Allah Akbar..

Berangkat dengan semangat pemuda… Berjiwa Ksatria..  Bermental baja.. dan Menyimpan kekuatan Ruhiyah yang tinggi… Abdul Wahhab berjihad dengan penuh kesungguhan.

Hingga akhirnya, bersama 2 ikhwan lainnya, mereka terdesak mundur ketika menyerang markas Israel. Dan akhirnya terjebak di Markas tersebut. Namun mereka tak ingin meninggal tanpa memberikan pengaruh yang besar bagi militer Israel. Akhirnya, mereka mengorbankan diri mereka dengan meledakkan diri mereka bersama gudang persenjataan Israel tersebut..

Allah Akbar…

Di usia muda… ia menjemput syahidnya bersama para ikhwan lainnya..

Di usia yang sangat muda saudaraku ?

Tempat terindah di syurga-Nya telah disiapkan untuk-Nya.. Kebahagiaan yang abadi telah ia reguk saudaraku… Masya Allah…

Dan makna Q.S. At-Taubah : 111 “Dengan jiwa dan harta kalian bahwa kalian akan memperoleh syurga” telah diajarkan kepada kita..
Bukan hanya kata-kata, bukan hanya tindakan nyata, namun nyawapun ia sertakan dalam keteladanan ini..
Masya Allah..
Salam rindu buat mereka, orang-orang yang punya segunung Keistiqomahan.. Yang tak kenal lelah berjuang di Jalan ini.

CATATAN : resensi ini diambil dari situs ALMUHANDIS milik akh Ario Muhammad.

Resensi Buku Fiqh Negara Dr. Yusuf Qardhawi

Judul Asli:  Min Fiqh ad-Daulah fil Islam Terjemahan: Fiqih Negara Penulis : Dr. Yusuf Qardhawy Penerjemah: Syafril Halim Penerbit...